Saturday, January 26, 2013

Apendiks Oh Apendiks

"Apa yang salah?? Kenapa perut ini kok sering sakit?", aku cuma bisa mengeluh sendiri didalam hati sambil menahan rasa nyeri di perut sehingga aku berpura-pura masih ikut dalam perbincangan antar kamar dikostanku. Keringat dingin mulai muncul di keningku, bibir semakin menunjukkan tanda-tanda pucat pasi di wajah. "Aduh!!",keluhku tanpa sadar mengeluarkan suara. Semua mata berpaling melihatku, "Ada yang salah?". "Kenapa?". "Ada yang sakit?". Semua melontarkan pertanyaan.

Saatnya mengeluarkan jawaban andalanku "Gak apa-apa",sambil tersenyum meyakinkan. Tapi ada sepasang mata yang tidak bisa kubohongi. Matanya. Seratus persen tidak bisa mengelak dari matanya. Wajah itu seolah-olah mengatakan "Tunggu saatmu. Kau tidak akan bisa berbohong samaku". Aarrgghh...selalu wajah itu. Aku tidak bisa mengelak.

Keringat dingin semakin deras. Nyeri diperut semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahan lagi. Kuputuskan untuk undur diri dari perbincangan itu dengan menggunakan alasan yang klise,mengantuk. Lagi-lagi mata itu mengatakan hal yang sama. Okelah..aku tunggu dirimu,balasku dengan tatapan kepadanya.

Dengan berlari-lari kecil sambil menahan sakit akhirnya aku sampai dikamar 3x3,5 m itu. Tidak ada waktu menunggu lagi,kujatuhkan badan ini ke tempat tidur,meringkuk,meringis,dan akhirnya menangis karena tidak tahan sakit ini. 

Tok..tok..tok...
Aaggkhh...pasti dia dengan omelan andalannya. "Masuklah",ucapku lirih. "Ada apa? Apa yang sakit?",diriku dijatuhi pertanyaan-pertanyaan dari dia. Aku memberitahunya dengan suara lirih karena menangis. Tidak ada gunanya melarikan diri dari pertanyaannya karena bisa berakibat fatal.

Terlihat kecemasan diwajahnya. "Tidak apa-apa. Cuma butuh istirahat.Besok udah gak sakit lagi kok." Aku mencoba meyakinkannya. "Yasudah...Tidurlah." Akhirnya aku tidur,lebih tepatnya ketiduran karena tetap menagis menahan sakit.

Benar saja. Keesokkan harinya rasa sakit itu memang hilang. Tapi ada yang mengganggu. Setiap aku melangkkahkan kaki untuk berjalan ada rasa nyeri diperut bagian bawah sebelah kanan. "Ada apa ini?", aku berbicara sendiri sambil sesekali menekan dibagian yang sakit tersebut. Rasa sakitnya semakin terasa ketika aku menekannya. Aku gelisah.

Aku memutuskan bermain kesebelah kamarku. Tepatnya kekamar dia. "Gimana? Masih sakit?",tanyanya. "Gak kok",jawabku sekenanya. Aku tahu dia tidak puas dengan jawaban ku. "DIbagian mana yang sakitnya?",tanya ingin tahu. Kujawab sesuai dengan apa yang kurasakan. Dia bingung. "Itukan bagian usus",komentarnya seolah-olah sangat paham untuk bagian itu. Aku ikutan bingung. Tiba-tiba aku teringat saat masa-masa SMA kelas XII. 

Aku kembali ke kamarku,mengambil Notebook,menyalakannya,dan mencolokkan modem. Setelah yakin sudah tersambung ke Internet, aku mulai mengutak-atik keyboard Notebookku. Akhirnya semua Hasil Penelusuran sudah keluar sesuai dengan keyword yang ku ketikkan. Aku memilih satu sampai tiga dari hasil penelusuran tersebut dan membacanya. 

Kecurigaanku terbukti. Gejala yang aku alami saat kelas XII SMA kemarin aku rasakan kembali. Saat anganku kembali masa itu, dia masuk ke kamarku melihat apa yang terpancar dilayar Notebookku.

"Usus buntu?",tanyanya kebingungan. "Hmm?? Mungkin",jawabku ala kadarnya.

"Kenapa bisa begitu?"

"Kelas XII SMA aku pernah mengalaminya. Kata dokternya masih gejala. Rasa nyeri yang kurasakan sekarang sama persis seperti yang kemarin. Dan yang tertulis disini pun sama persis seperti yang aku rasakan sekarang",jawabku sambil menunjuk layar.

"Jadi gimana?"

"Ntahlah...",jawabku menggantung.

"Kok ntahlah?!?? Ya harus berobatlah..",dia pun akhirnya memulai repetannya. "Tidak sekarang,please..",jawabku dalam hati. Setelah perundingan yang lumayan lama. Akhirnya aku setuju untuk berobat langsung ke dokter spesialis penyakit dalam.

Keesokkan harinya setelah pulang kuliah dengan rasa nyeri yang timbul lagi, kami berdua pun pergi ke dokter. Beruntung saat itu tidak banyak pasien sehingga aku tidak perlu terlalu lama menunggu dan tidak perlu terlalu lama menahan rasa nyeri. 

Akhirnya tiba giliranku. Aku masuk keruang periksa dengan didalamnya seorang dokter yang sudah berumur, yang kebetulan kami memiliki Family name yang sama, dan seorang perawat yang menjadi asisten si dokter. 

"Apa keluhannya?",tanya dokter.

"Sakit perut di bagian kanan bawah",jawabku dengan suara lirih.

"Sejak kapan?",tanya dokter lagi.

"Sudah ada kurang lebih 3 minggu",jawabku lagi.

"Pernah demam?"

"Pernah",jawabku kebetulan aku baru sembuh dari sakit demam.

"Pernah muntah?"

"Pernah."

"Naik ke tempat tidur",perintah dokter. Aku menurut. Kubiarkan perawat tersebut membimbingku ke tempat tidur periksa. Perawat tersebut mengambil alat untuk mengukur tekanan darah. Menggulung lengan bajuku sebelah kanan dan mempersiapkan semua alatnya. "110 per 80,dok",kata perawat ke dokter itu.

Kemudian dokter itu beranjak dari tempat duduknya menuju ke tempat tidur periksa. Kebetulan saat itu aku mengenakan celana jeans lengkap dengan tali pinggang. Aku disuruh untuk melepaskan tali pinggangku. Setelah yakin kalau aku sudah bisa untuk diperiksa,si dokter mulai mengambil ancang-ancang.

Dia menekan pas diperutku yang sering nyeri itu sontak saja aku langsung mengeluarkan suara kesakitan."Sakit?",tanya dokter itu. "Ini dokter budeg atau??",komentar ku dalam hati. "Sakit",jawabku sambil meringis. Dia kembali mengambil ancang-ancang dan kemudian mengangkat kakiku sambil di tekuk. Aku kembali meringis kesakitan. 

"Radang Apendiks ini",putus si dokter sambil kembali menuju mejanya. Aku tidak kaget lagi mendengar komentar dokter itu. Aku membereskan diriku dan turun dari tempat tidur periksa kembali duduk.

Si dokter mulai menulis-nulis diatas buku yang semua orang menyebutnya resep. Dia mengatakan,"Jangan makan yang pedas-pedas. Jangan makan yang keras-keras". "Keras?? Kerikil?? Atau batu bata??",pikirku konyol. Kemudian dia menyerahkan kertas resep itu dan aku keluar. Setelah itu aku mengurus administrasinya lalu pulang.

"Apa kata dokternya?",tanya dia.

"Sesuai apa yang kucurigai kemarin",jawabku singkat.

"Jadi memang benar?",tanyanya balik.

"Begitulah yang kudengar dari dokter itu"

"Jadi selanjutnya gimana?"

"Kita ke apotik,menanyakan berapa kira-kira harga untuk menebus resep ini."

Kami berdua pun menuju salah satu apotik yang ada di sekitar situ. Menyerahkan resep itu kepada penjaga apotiknya dan menunggu. Kemudian penjaga apotik itu keluar dan mengatakan,"Satu dari antara tiga obat ini tidak ada disini."

"Oh..kalau yang dua ini jadi berapaan?",tanyaku penasaran.

"Dua ratus tiga puluh ribu",jawab penjaga apotiknya. Kaget. Aku kaget mendengarnya kemudian undur diri. Kami pergi ke apotik yang lain. Jawaban yang sama kami terima. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke kost.

Kami berunding dan akhirnya di putuskan sekitar jam 19.00 WIB kami pergi ke apotik. Kami pergi setelah makan malam ke apotik K 24. Disana ketiga obat itu ada. Dan setelah ditanya harganya berapa,mereka menjawab,"Empat ratus tiga puluh ribu." Aku bingung. Untuk anak kuliahan seperti aku dana sebesar itu tidak gampang. Harus ada konfirmasi ke orang tua dulu. Karena sebenarnya orang tua tidak tahu kalau aku sakit. Mau tidak mau akhirnya aku menelepon pihak keluarga. Aku menelepon kakak ku yang saat itu ada di Papua dimana perbedaan waktu kami sekitar 2 jam. 

Aku mencoba kembali keberuntunganku. Semoga dia belum tidur. Syulurlah..teleponku diangkat. Aku menceritakan semuanya. Dia kaget mendengarnya. Dia memberi saran agar aku memberitahukan ke orangtua dan aku disaran untuk berobat lagi ke dokter yang lain untuk memastikannya dan untuk mencari solusi yang cepat karena radang usus buntu bukan penyakit yang bisa ditunggu-tunggu.

Aku menerima saran itu dan menelepon ke rumah. Orang tua juga setuju dengan saran kakak untuk berobat ke dokter lain. Tapi kali ini aku harus ada pendamping yaitu kakakku yang paling besar yang kebetulan di kota Medan juga bertempat tinggal.

Keesokkan harinya saat aku masih dikampus,aku menerima telepon dari rumah. Mama mengatakan kalau dia akan berangkat ke Medan dengan Kereta Api Sribilah Malam. Aku sedih. Mereka jadi repot karena aku. Ada perasaan tidak enak samaku.

Saat pukul 6 pagi-kurang lebih-Mama sampai dikostku. Kami memutuskan setelah aku pulang kuliah kami akan pergi ke dokter guna untuk memastikan kondisiku. Setelah pulang kuliah aku dan Mama pergi,kami janjian dengan kakakku yang paling besar dipraktek dokter. 

Ternyata dokter yang bekerja dipraktek itu sudah lansia. Umurnya sudah mencapai 80 tahun. Ada keraguan di kami. Ragu kalau hasil pemeriksaannya tidak valid. Kami mencari praktek dokter yang lain. Akhirnya ketemu. Saat itu masih cuma aku yang sebagai pasien. 

Setelah mengisi identitas dan sebagainya aku disuruh masuk diruang periksa. Kembali aku dijatuhi pertanyaan. Aku menjawab hal yang sama ketika aku periksa kemarin. Aku disuruh berbaring di tempat tidur periksa dan diperiksa sama juga seperti yang kemarin.

"Radang usus buntu ini. Harus dioperasi",begitulah komentar dokternya. Aku kaget mendengar kata operasi ini.

"Harus di operasi,dok?",tanya mama memastikan.

"Iya..Harus dioperasi. Karena saya lihat ini sudah parah",komentar dokternya. Aku tidak tahu apa dokter ini hanya menakuti atau memang benar yang dikatakannya.

"Tapi dia lagi ujian",kata Mama.

"Ya permisi dululah."

"Gak bisa rupanya,dok menunggu 2 minggu lagi setelah dia selesai ujian? Untuk 2 minggu ini dia makan obat dulu",tawar mama.

"Bisa. Saya bisa memberi dia obat. Tapi saya tidak bisa menjamin kalau obat itu bisa membuat sakitnya kambuh lagi. Karena kalau sudah pecah sudah serius itu. Saya tidak bisa menjamin kalau hal itu tidak akan terjadi",jawab dokter itu sambil menakut-nakuti mungkin.

"Jadi gimana?",tanya mama ke aku.

"Yasudah..Permisi sajalah aku..",jawabku sambil takut.

"Saya akan memberikan surat rujukan ke Rumah Sakit Estomihi",jawab si dokter.

"Jadi kapan operasinya,dok?",tanya mama memastikan.

"Malam ini juga",jawab dokternya. "HAH??!!!?? Malam ini??!!? Tanpa ada persiapan?",pikirku.

"Yasudah....Iya,dok. Malam ini operasinya. Minta tolong buatkan surat izin untuk ke kampusnya yaa,dok.",kata mama.

Segala surat-surat sudah selesai. Administrasi pun begitu. Akhirnya kami langsung ke RS Estomihi tanpa balik dahulu ke kost untuk mengambil barang-barang yang diperlukan.

Setelah sampai di RS Estomihi,kami mengisi data-data pasien dan menentukan kamar. Kemudian aku di suruh masuk keruangan UGD. Aku disuruh rebahan menunggu perawat yang bertugas karena dia lagi mengurus balita yang terkena step. Setelah itu dia menghampiriku dengan alat-alatnya yang terkenal dengan tusukannya yang dibilang orang-orang seperti digigit semut.

Dia mengangkat lengan bajuku karena kebetulan aku pakai lengan panjang,baju yang aku pakai ke kampus. Kemudian dia menusukkan dipergelangan tanganku dan mulai menyedot darahku. Tidak tahu ntah berapa cc. Dia juga memerikan wadah kecil yang katanya untuk menampung urinku. Semua yang disuruhnya aku kerjakan. Setelah wadah tersebut sudah berisi urinku,wadah tersebut kukembalikan kepada yang berwajib.

Tidak ada perasaan takut sedikit pun samaku karena mau dioperasi. Aku kembali rebahan menunggu giliranku untuk dikerjai. Kemudian dia datang dengan alat yang sama tapi kali ini alatnya berisi cairan. "Tusuki kalianlah..Gak kalian rasakan kok sakitnya",omelku dalam hati.
Dia menusukkan jarum itu dan memasukkan cairan itu kedalam tanganku. Kerjaannya tidak berhenti sampai disitu,dia mengambil pulpen dan menggoreskan pulpen itu dengan pola melingkar dibekas suntikan itu dan menuliskan pukul berapa saat itu. "Terserah kalianlah...",bisikku pada diri sendiri.

Tidak berakhir disitu,dia kembali dengan alat yang kurang lebih sama tapi kali ini dia membawa tiang besi. Ya apa lagi kalau tidak untuk infus. "Mau ditangan mana?",tanyanya minta persetujuan dari aku. "Yang kiri aja",jawabku. "Mau yang kiri atau yang kanan tetap saja kalian suntik kan?",pikirku. 

Dia menyuruhku mengepalkan tanganku dan mulai mencari-cari. Setelah yakin menemukan yang tepat,dia mulai menusukkan jarum tersebut dan jarum itu hubungkan ke selang yang sebelumnya sudah terhubung ke cairan yang tak sengaja kubaca Ringer Laktat. Kemudian aku diantar ke ruanganku. Aku didorong menggunakan kursi roda. Aku menunggu dikamar karena operasinya dimulai jam 21.00 WIB.

Ketika jam 20.30 WIB aku dijemput perawat untuk diantar ke ruang operasi. Sampai disana aku disuruh melepas semua pakaianku. Padahal ruangan itu dingin sekali. Aku disuruh tidur ditempat tidur operasi hanya berselimutkan satu sarung.

21.30 WIB. Dokternya tidak kunjung datang. Aku hanya ditemani seorang perawat cewek. "Masih lama lagi?",tanyaku karena sudah kedinginan. "Dokter anestesinya belum datang",begitu jawab perawatnya. 

Gigiku sudah saling beradu. Dokter tak kunjung datang. Si perawat malah asyik bertelepon dengan bualannya. Suasana yang sangat jauh untuk diharapkan. 

23.00 WIB. Akhirnya dokternya datang juga. Mereka masuk ke ruang operasi dengan jubah warna hijau tuanya. Mengambil peralatan untuk merobek perutku. Aku disuruh duduk. Punggungku dilumuri oleh Betadine kemudian dibersihkan kembali dengan alkohol. Aku disuruh untuk menunduk. Kemudian kurasakan jarum bius mereka menusuk tulang belakangku. Gagal. Mereka mengulanginya. Berhasil. Cairan bius itu masuk ketubuhku.

Aku melihat bayangan diriku dilampu operasi. Kemudian aku berdoa didalam hati semoga operasinya berjalan lancar. Kaki mulai terasa kebas. Lama kelamaan tidak bisa digerakkan lagi. Itu artinya bius sudah bekerja. Saatnya mereka yang bekerja. 

"Kalau mau tidur,tidur saja yaa..",kata dokter anestesinya.

"Iyaa..",jawabku. Tiba-tiba saja mataku langsung berat dan tertidur padahal aku sama sekali tidak mengantuk.

Aku tidak tahu apa yang mereka kerjain. Operasinya berlangsung kurang lebih 1 jamdan berjalan lancar. Setelah itu aku cuma tahu kalau aku diseret keluar dari ruang operasi. Aku belum sadar sepenuhnya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di tempat tidur kamar inapku. Luka operasi yang aku dapatkan kira-kira panjang 3 inci. Kurang Lebih.

Aku belum diperbolehkan makan dan minum. Harus menunggu sampai besok pagi pukul 06.00 WIB. Itupun hanya boleh minum hanya beberapa sendok makan. Biusnya masih bekerja. Karena kakiku masih belum bisa kugerakkan. Aku sudah sadar tapi belum seratus persen. Aku cuma sudah kehausan. Tidak tahan harus menunggu sampai besok pagi. 


Keesokkan harinya aku diperbolehkan minum tapi hanya beberapa sendok. Tidak apalah yang penting bibir ini sudah dibasahi. Dan disiang harinya kira-kira jam 13.00 WIB lebih biusnya sudah tidak bekerja lagi. Rasa nyeri luar biasa aku rasakan. Aku menangis karena tidak tahan.

Rasa nyerinya tak terkatakan apalagi aku masih belum bisa bergerak banyak. Hanya bisa bisa tidur telentang. Punggung pun panas. Aku harus belajar untuk miring ke kiri dan ke kanan besoknya. Hari selanjutnya belajar duduk. Kemudian belajar berjalan. 

Operasiku berjalan pada tanggal 21 November 2012 pada pukul 23.00 WIB. Aku keluar dari rumah sakit Estomihi pada tanggal 24 November 2012 pukul 11.00 WIB.




0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates