Friday, March 1, 2013

Cobalah Liat Dari Sudut Pandangku


Setengah menyeret langkah kakinya, Eirene akhirnya memutuskan untuk tetap pergi ke rumah sakit. Setiap langkah kakinya selalu diiringi dengan helaan nafas pasrah akan hal apapun yang akan terjadi selanjutnya. Pikirannya selalu terbang ke kejadian kemarin. Setiap perkataan itu masih terpatri jelas dibenaknya. Tapi dia tetap melakukannya demi orang yang sangat berharga untuknya. Dia tetap berusaha untuk selalu ada dan selalu disamping orang itu.

          “Yahh…begitulah kehidupan. Selalu ada riak-riak kecil untuk mewarnai langkah ini”,katanya pada diri sendiri mencoba menguatkan dirinya. Tapi dia tahu,sekuat apapun dia berusaha untuk tidak terlalu memikirkan perkataan itu,sekuat itu juga ingatan akan perkataan itu menempel permanen dipikirannya. “Akh..pulanglah aku sore ini. Bosan aku. Bukannya didengarkan apa yang kubilang. Sudahku bilang jangan dulu diganggu tidurnya karena syaraf-syaraf dimatanya masih lemah jadi dia butuh tidur. Hmm..yang seharusnya aku senang dengan dia,sekarang jadi gak suka samanya. Bukan itu namanya sayang”. Terjadi perubahan mimik wajah Eirene. Wajah yang sangat mudah ditebak. Wajah kesedihan. Perubahannya sangat kontras sekali.

          Perkataan itu diucapkan oleh orangtua kekasihnya. Kekasihnya Eirene sedang dirawat dirumah sakit karena dia mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar 1 minggu yang lewat,yang mengakibatkan rusaknya penglihatan kekasihnya itu. Eirene ingin menyampaikan apa yang ada didalam hatinya. Dia ingin orang-orang mencoba melihat dari sudut pandangnya. Mencoba memahami apa alasan dia melakukan suatu hal. Eirene punya semua penjelasan itu. Dia ingin mengutarakan. Tapi….

          Ingatan itu kembali lagi. Pandangan Eirene kosong, terbang ke kejadian semalam. Ibu kekasihnya mencoba menenangkan suasana. Dia pergi keluar menyusul suaminya. Mungkin terjadi perbincangan diantara mereka. Eirene pura-pura sedang asyik memperhatikan layar kaca televisi. Pura-pura tidak ikut berada dalam perbincangan mereka. Pura-pura tidak sadar kalau dia sedang disindir. Selang beberapa menit,akhirnya ibu Dave,kekasih Eirene, kembali. Perubahan mimik wajahnya juga mudah untuk ditebak. Pandangan Eirene tak sedetikpun lepas dari layar televisi. “Kenapa isi sms-mu seperti itu. Dianya yang lebih berharga untuk kami. Tidak ada kami nomor dua-kan kesehatannya. Kenapa kalian pacaran sekarang?”,akhirnya ibu Dave angkat bicara. Eirene tertawa. Tawa sumbang. Dia ingin menyampaikan alasan kenapa dia mengetik seperti itu. Eirene punya penjelasannya. Tapi dia lebih memilih untuk diam. Dia tidak mau menambah suasana menjadi tidak karuan. dia tetap menatap layar televisi dengan tatapan kosong. “Jangan dipikirkan apa yang mereka katakan. Biar dikenal merekanya dirimu. Tidak apa-apa itu”,Dave mencoba menenangkan suasana hati Eirene. Tanpa diberitahu Dave pasti tahu apa yang dirasakan Eirene. Eirene berpaling menatap mata Dave dan tersenyum. Hanya itu balasan yang bisa Eirene berikan. Kemudian Eirene berdiri disamping tempat tidur Dave dan berkata,”Aku nanti ada mata kuliah jam 14.00 jadi aku pulang sekarang yaa..”. Eirene berbohong. Sebenarnya Eirene bolos hari itu. “Tapi nanti kesini lagi kan?”,tanya Dave sambil berharap. “Sepertinya tidak,aku mau ke rumah kakak nanti sore.” “Pasti gak berani lagi kesini kan?”,tantang Dave. “Yaudah..aku pergi yaa. Nanti telat. Kan jauh ke kampus”,elak Eirene. “Gak berani menjawabnya.” “Aku pergi yaa”,Eirene tidak mau memberi jawaban. Dia lebih memilih mengelak dari pertanyaan itu. Daripada dia harus menjawab dan akhirnya menyakiti hati Dave. Ibu Dave masuk dan Eirene mohon undur diri. Diluar ayah Dave duduk sendirian. Hati dan pikiran Eirene beradu. Akhirnya Eirene memutuskan  untuk bicara berdua dengan ayah Dave. Mencoba menjelaskan alasannya. Berharap ayah Dave mau mencoba untuk melihat dari sudut pandangnya. “Marah Om samaku?”,tanya Eirene dengan senyum kesedihan. “Yaa jelas marahlah”,jawab ayah Dave. Dengan suara bergetar menahan tangis Eirene menjelaskan, “Jangan marah Om samaku yaa. Sudah kuanggap Om sebagai ayah aku sendiri. Sudah tidak ada lagi ayahku,Om. Bukan sama orang Om dan Tante perkataanku lewat sms itu. Sebenarnya,Om,aku kesal. Aku mau marah sama orang ini semua. Pihak rumah sakit. Pihak asuransi. Dan pihak Bank. Mereka yang aku maksudkan menomorduakan kesehatan Dave. Mereka semua memperlambat,mempersulit,memperpanjang proses yang tidak perlu. Mereka semua seperti menjadikan kejadian ini untuk bisnis. Mencoba mengambil sebanyak mungkin dari pihak-pihak mana yang bisa mereka manfaatkan. Aku mengerti posisi orang Om sekarang. Setiap kali Om ingin ambil tindakan untuk Dave selalu dicegah mereka. Mereka tahu Om masih awam berurusan dengan rumah sakit karena ini kali pertama Om berurusan sama rumah sakit. Aku paham kalau Om dibuat bingung oleh ini semua. Itu juga yang buat aku kesal dan marah sama mereka. Bukan Om dan Tante yang kumaksud. Bukan. Karena kita sama-sama ingin yang terbaik untuk Dave. Iyakan,Om?”,jelas Eirene. Ayah Dave mengungkapkan kesetujuannya dengan apa yang Eirene katakan. Ada sedikit kelegaan diwajah Eirene. Tapi kegelisahannya belum hilang sepenuhnya. Akhirnya Eirene undur diri dari rumah sakit. Eirene memutuskan untuk pergi kerumah kakaknya. Dia tidak ingin kembali ke kostnya. Dia ingin suasana yang hiruk pikuk agar perhatiannya teralihkan. Tapi setelah sampai dirumah kakaknya kegelisahannya masih tetap bercokol didalam hatinya.

          Terdengar helaan nafas panjang. Eirene mencoba untuk mengembalikan konsentrasinya. Mulai memperhatikan perjalanannya. Setelah sampai dirumah sakit jantungnya berdegub tak biasa. Keringat dingin muncul dipelipisnya. Dia mulai mengatur nafas. “Ada apa ini??”,dia bertanya pada diri sendiri.

          Sesampainya diruangan Dave, Eirene disambut dengan senyuman hangat kedua orangtua Dave. Eirene masih belum mau terlalu berpikiran positif. Dia masih mawas diri. Dia tidak mau langsung melambung tinggi hanya karena senyuman itu. Jantungnya masih berdegub. Akhirnya ayah Dave angkat bicara, “Iya,Eirene. Mengertinya kami kenapa kamu berkata seperti itu. Om tahu bagaimana rasa sayangmu terhadap Dave. Om sudah mencoba mengikuti jalan pikiranmu dan Om akhirnya pun mengerti.” Eirene tersenyum. Beban yang menindih pundaknya sejak 24 jam belakangan ini terasa sudah lepas. Eirene menatap Dave penuh kasih. Dave balas menatap.

          Orangtua Dave pergi meninggalkan ruangan dan membiarkan mereka berdua. “Ngomong apa sih kamu sama Papa?”,tanya Dave sambil menggenggam tangan Eirene. “Ada deh”,jawab Eirene dengan senyum manisnya. “Kamu pasti tahu kalau setiap perbuatan,perkataan,dan perlakuan yang aku lakukan selalu  ada alasannya. Dan alasan itulah yang kusampaikan kepada Om”,jelas Eirene bijak. Dave menarik tangan Eirene kebibirnya dan mengecupnya mesra.

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates