Dunia
benar-benar tak bersahabat denganku. Kata-kata itu selalu kugumamkan dibibirku.
Bagaimana tidak?? Semua pandangan mereka seolah-olah mengatakan “kau bukan
bagian dari kami”. Kembali mataku terasa panas. Terancam akan menangis lagi.
Yang kulakukan hanya terduduk dilantai didepan kamar kost-kostan teman. Apa
yang kulakukan selanjutnya? Kembali kekamarku dan menghadapi tatapan-tatapan
itu?? TIDAK!! Aku tidak akan kembali kekamar itu lagi. Keputusan sudah bulat.
Aku lari dari situasi ini. Apa itu keputusan yang pas? Aku kembali bertanya
pada diriku sendiri.
Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku
langsung ambil langkah seribu pergi dari situasi ini. Aku sudah tahu kemana
tujuanku. Executive Printing House.
Ya,aku akan kesana. Selama dalam perjalanan semua kejadian 30 menit
terakhir kembali berputar-putar didalam kepalaku. Air mata kembali memaksa
untuk keluar. Diriku terasa jatuh kedalam jurang tak berdasar. Aku terasa
kosong tapi menyakitkan. Jantungku lupa fungsinya yang sebenarnya. Hatiku
berdarah.
Sial! Aku mengumpat dalam hati.
Executive Printing House sudah tutup. Bagaimana ini?? Aku mengambil ponselku,
satu-satunya benda yang kubawa. Mencari-cari didaftar kontak. Ketemu! Segera
aku tekan tombol dial. Tuut..tuut..tuut..tuut… Nada tersambung
terdengar tapi tak terdengar suara seorang lelaki yang aku harapkan untuk
mengangkat telepon itu. Aku mencoba keberuntunganku lagi. “Ayolah”,aku
menggumam. Tetap tak ada respon dari pemilik handphone. Aku kembali mencoba keberuntunganku untuk yang terakhir
kalinya. Aku mengirim pesan singkat kepadanya. Setelah menunggu beberapa menit
tetap tidak ada respon.
Kali ini aku benar-benar terjatuh.
Yang kulakukan selanjutnya mungkin mencari pertolongan orang lain yang tanpa
bertanya kepadaku ada apa sebenarnya yang terjadi. Dan rasanya itu sangat
mustahil. Tiba-tiba handphone
ditanganku bergetar. Berharap dalam hati kalau itu adalah telepon masuk dari
orang yang kuharapkan. Syukurlah. Harapanku terkabulkan. Dia meneleponku.
Pembicaraan singkat itu mengatakan kalau aku berada didepan rentalnya. Aku
duduk didepan pintunya persis seperti orang yang tak punya tujuan.
Aku mendengar pintu terbuka
dibelakangku. Akhh..ini orang yang kuharapkan. Aku memaksakan senyum terbaikku.
Aku sangsi,mungkin hasilnya tak sebaik yang kuharapkan. Dia ambil posisi duduk
tepat disampingku. Dia bertanya ada apa denganku sehingga membawaku sampai
kesini. Aku tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana. Akhirnya yang
kulakukan kembali terseyum. Jelas saja dia tidak menerima senyuman itu. Orang
buta saja tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada diriku. Mataku
kembali terasa panas dan perih. Sakit hatiku kembali terasa. Jantungku terasa
ngilu mengingat kejadian itu.
Karena tahu aku tidak akan segera
angkat bicara,dia menyuruh agar kami ambil posisi yang selayaknya. Dia
menawarkan kepadaku untuk ke Bandrek Krakatau. Aku menurut saja. Dia tidak
secara langsung mencekokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyulut air
mataku jatuh semakin deras. Dia membiarkanku menyiapkan diriku untuk bercerita
yang sebenarnya. Aku mengatur pikiran-pikiranku yang seperti benang kusut.
Mengatur perasaan-perasaanku yang sangat kalut. Sampai aku benar-benar merasa
siap untuk mencurahkan segala yang kusut dan kalut itu.
Setelah merasa yakin kalau aku sudah
siap untuk cerita,aku mulai angkat bicara. Tapi arah bicaraku ngawur. Aku
memulai dengan sangat tidak baik. Yang ada membuat yang mendengar menjadi
bingung. Untungnnya dia sabar mendengarkan semua yang kukatakan. Sebenarnya itu
hanya intro untuk cerita yang sebenarnya. Kemudian aku mulai menceritakan
semuanya dari awal. Mulai dari kejadian yang menimpa dirinya,betapa kalutnya
aku,aku yang tak peduli dengan perkuliahanku asal aku bisa kesana sesuai yang
dia inginkan,aku yang selalu ada disampingnya mulai dari rumah sakit yang satu
ke rumah sakit yang lainnya,aku yang berusaha semampuku membantu keluarganya
mengenai kasusnya dengan melibatkan keluargaku,aku yang malah mendapat cemohan
dari orang tuanya yang laki-laki,aku yang tetap bertahan demi dia,dan kejadian
yang baru saja terjadi yaitu aku dapat makian dari orang tuanya yang perempuan.
Aku sadar,salah sebenarnya
menghitung-hitung apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Tapi kalau
kejadiannya sudah begini,tidak ada cara lain. Dengan tujuan bukan untuk
menghitung-hitung apa yang kita berikan tapi agar orang paham kondisi kita yang
sebenarnya.
Aku tak memaksanya untuk berada
dipihakku. Aku hanya ingin seseorang mendengarkanku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi,telepon dari dia.
Aku tidak peduli. Aku mematikannya. Dia menyuruhku untuk mengangkatnya tapi aku
tidak mau. Dia bertanya kepadaku apa yang selanjutnya aku lakukan. Aku jawab
tidak tahu. Yang jelas aku tidak mau pulang ke tempat itu. Aku tidak mau
bertatap muka dengan orang-orang yang ada disitu. Dia bingung. Terus aku mau
tidur dimana? Aku tidak peduli aku mau tidur dimana. Aku tidak peduli aku tidur
atau tidak.
Akhirnya setelah berunding sedikit
lama akhirnya aku setuju dia memanggil adik stambuknya yang kebetulan sudah
sangat dekat denganku. Dengan persetujuan aku tidur ditempat kakak itu. Dia
sedikit lega karena akhirnya aku mau. Tapi dia masih bingung bagaimana
menghadapi pelarian yang satu ini. Untungnya dia tetap mendengarkan apa yang
kuceritakan. Telepon kembali berbunyi tapi tetap tak kuangkat. Dia kembali
angkat bicara menyuruhku untuk mengangkat teleponnya. Aku kembali
menyetujuinya.
Setelah kakak itu datang, aku tidak
langsung serta merta menceritakan semuanya. Karena hal itu sangat sulit. Dia
Cuma tahu aku dalam keadaan yang sangat tak baik. Dan syukurlah dia mengerti.
Tiba-tiba rasa sakit itu kembali memuncak sampai ke ubun-ubunku. Kali ini aku
tidak dapat mengendalikan air mataku. Aku langsung buang muka,membelakangi
mereka. Air mataku menetes tak karuan. Badanku berguncang menahan tangisan agar
tak mengeluarkan suara. Dia tahu aku menangis. Tangannya langsung mengelus
kepalaku. Sentuhannya seolah mengatakan”Semuanya
baik-baik saja. Aku bersamamu”. Tubuhku semakin berguncang sambil menangis
dalam diam. Dia kembali mengelus kepalaku,mencoba memberikan kekuatan kepadaku.
Hatiku tersentuh. Ada sedikit
kedamaian menyelip dari sentuhan itu. Aku bersyukur untuk orang-orang ini.
Akhirnya aku memutuskan menghentikan tangisanku meskipun sulit. Dia menyuruhku
untuk segera pulang bersama kakak itu dan segera beristirahat. Tapi ada sedikit
rasa enggan untuk pergi dari situ. Dengan sedikit membujuk akhirnya aku
menyetujuinya.
Aku menghabiskan malam itu dengan
pikiran-pikiran yang amburadul. Sesekali menangis dalam diam. Aku mencoba
meredam rasa sakitku. Dia tetap menemaniku lewat pesan singkat. Menyuruhku
untuk segera istirahat. Lagi-lagi aku mendengarkan apa yang dikatakannya.
.::
To Be Continued ::.
0 comments:
Post a Comment