Friday, June 21, 2013

SAAT ITU Part 1



Dunia benar-benar tak bersahabat denganku. Kata-kata itu selalu kugumamkan dibibirku. Bagaimana tidak?? Semua pandangan mereka seolah-olah mengatakan “kau bukan bagian dari kami”. Kembali mataku terasa panas. Terancam akan menangis lagi. Yang kulakukan hanya terduduk dilantai didepan kamar kost-kostan teman. Apa yang kulakukan selanjutnya? Kembali kekamarku dan menghadapi tatapan-tatapan itu?? TIDAK!! Aku tidak akan kembali kekamar itu lagi. Keputusan sudah bulat. Aku lari dari situasi ini. Apa itu keputusan yang pas? Aku kembali bertanya pada diriku sendiri.
            Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku langsung ambil langkah seribu pergi dari situasi ini. Aku sudah tahu kemana tujuanku. Executive Printing House.  Ya,aku akan kesana. Selama dalam perjalanan semua kejadian 30 menit terakhir kembali berputar-putar didalam kepalaku. Air mata kembali memaksa untuk keluar. Diriku terasa jatuh kedalam jurang tak berdasar. Aku terasa kosong tapi menyakitkan. Jantungku lupa fungsinya yang sebenarnya. Hatiku berdarah.
            Sial! Aku mengumpat dalam hati. Executive Printing House sudah tutup. Bagaimana ini?? Aku mengambil ponselku, satu-satunya benda yang kubawa. Mencari-cari didaftar kontak. Ketemu! Segera aku tekan tombol dial. Tuut..tuut..tuut..tuut… Nada tersambung terdengar tapi tak terdengar suara seorang lelaki yang aku harapkan untuk mengangkat telepon itu. Aku mencoba keberuntunganku lagi. “Ayolah”,aku menggumam. Tetap tak ada respon dari pemilik handphone. Aku kembali mencoba keberuntunganku untuk yang terakhir kalinya. Aku mengirim pesan singkat kepadanya. Setelah menunggu beberapa menit tetap tidak ada respon.
            Kali ini aku benar-benar terjatuh. Yang kulakukan selanjutnya mungkin mencari pertolongan orang lain yang tanpa bertanya kepadaku ada apa sebenarnya yang terjadi. Dan rasanya itu sangat mustahil. Tiba-tiba handphone ditanganku bergetar. Berharap dalam hati kalau itu adalah telepon masuk dari orang yang kuharapkan. Syukurlah. Harapanku terkabulkan. Dia meneleponku. Pembicaraan singkat itu mengatakan kalau aku berada didepan rentalnya. Aku duduk didepan pintunya persis seperti orang yang tak punya tujuan.
            Aku mendengar pintu terbuka dibelakangku. Akhh..ini orang yang kuharapkan. Aku memaksakan senyum terbaikku. Aku sangsi,mungkin hasilnya tak sebaik yang kuharapkan. Dia ambil posisi duduk tepat disampingku. Dia bertanya ada apa denganku sehingga membawaku sampai kesini. Aku tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana. Akhirnya yang kulakukan kembali terseyum. Jelas saja dia tidak menerima senyuman itu. Orang buta saja tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada diriku. Mataku kembali terasa panas dan perih. Sakit hatiku kembali terasa. Jantungku terasa ngilu mengingat kejadian itu.
            Karena tahu aku tidak akan segera angkat bicara,dia menyuruh agar kami ambil posisi yang selayaknya. Dia menawarkan kepadaku untuk ke Bandrek Krakatau. Aku menurut saja. Dia tidak secara langsung mencekokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyulut air mataku jatuh semakin deras. Dia membiarkanku menyiapkan diriku untuk bercerita yang sebenarnya. Aku mengatur pikiran-pikiranku yang seperti benang kusut. Mengatur perasaan-perasaanku yang sangat kalut. Sampai aku benar-benar merasa siap untuk mencurahkan segala yang kusut dan kalut itu.
            Setelah merasa yakin kalau aku sudah siap untuk cerita,aku mulai angkat bicara. Tapi arah bicaraku ngawur. Aku memulai dengan sangat tidak baik. Yang ada membuat yang mendengar menjadi bingung. Untungnnya dia sabar mendengarkan semua yang kukatakan. Sebenarnya itu hanya intro untuk cerita yang sebenarnya. Kemudian aku mulai menceritakan semuanya dari awal. Mulai dari kejadian yang menimpa dirinya,betapa kalutnya aku,aku yang tak peduli dengan perkuliahanku asal aku bisa kesana sesuai yang dia inginkan,aku yang selalu ada disampingnya mulai dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lainnya,aku yang berusaha semampuku membantu keluarganya mengenai kasusnya dengan melibatkan keluargaku,aku yang malah mendapat cemohan dari orang tuanya yang laki-laki,aku yang tetap bertahan demi dia,dan kejadian yang baru saja terjadi yaitu aku dapat makian dari orang tuanya yang perempuan.
            Aku sadar,salah sebenarnya menghitung-hitung apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Tapi kalau kejadiannya sudah begini,tidak ada cara lain. Dengan tujuan bukan untuk menghitung-hitung apa yang kita berikan tapi agar orang paham kondisi kita yang sebenarnya.
            Aku tak memaksanya untuk berada dipihakku. Aku hanya ingin seseorang mendengarkanku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi,telepon dari dia. Aku tidak peduli. Aku mematikannya. Dia menyuruhku untuk mengangkatnya tapi aku tidak mau. Dia bertanya kepadaku apa yang selanjutnya aku lakukan. Aku jawab tidak tahu. Yang jelas aku tidak mau pulang ke tempat itu. Aku tidak mau bertatap muka dengan orang-orang yang ada disitu. Dia bingung. Terus aku mau tidur dimana? Aku tidak peduli aku mau tidur dimana. Aku tidak peduli aku tidur atau tidak.
            Akhirnya setelah berunding sedikit lama akhirnya aku setuju dia memanggil adik stambuknya yang kebetulan sudah sangat dekat denganku. Dengan persetujuan aku tidur ditempat kakak itu. Dia sedikit lega karena akhirnya aku mau. Tapi dia masih bingung bagaimana menghadapi pelarian yang satu ini. Untungnya dia tetap mendengarkan apa yang kuceritakan. Telepon kembali berbunyi tapi tetap tak kuangkat. Dia kembali angkat bicara menyuruhku untuk mengangkat teleponnya. Aku kembali menyetujuinya.
            Setelah kakak itu datang, aku tidak langsung serta merta menceritakan semuanya. Karena hal itu sangat sulit. Dia Cuma tahu aku dalam keadaan yang sangat tak baik. Dan syukurlah dia mengerti. Tiba-tiba rasa sakit itu kembali memuncak sampai ke ubun-ubunku. Kali ini aku tidak dapat mengendalikan air mataku. Aku langsung buang muka,membelakangi mereka. Air mataku menetes tak karuan. Badanku berguncang menahan tangisan agar tak mengeluarkan suara. Dia tahu aku menangis. Tangannya langsung mengelus kepalaku. Sentuhannya seolah mengatakan”Semuanya baik-baik saja. Aku bersamamu”. Tubuhku semakin berguncang sambil menangis dalam diam. Dia kembali mengelus kepalaku,mencoba memberikan kekuatan kepadaku.
            Hatiku tersentuh. Ada sedikit kedamaian menyelip dari sentuhan itu. Aku bersyukur untuk orang-orang ini. Akhirnya aku memutuskan menghentikan tangisanku meskipun sulit. Dia menyuruhku untuk segera pulang bersama kakak itu dan segera beristirahat. Tapi ada sedikit rasa enggan untuk pergi dari situ. Dengan sedikit membujuk akhirnya aku menyetujuinya.
            Aku menghabiskan malam itu dengan pikiran-pikiran yang amburadul. Sesekali menangis dalam diam. Aku mencoba meredam rasa sakitku. Dia tetap menemaniku lewat pesan singkat. Menyuruhku untuk segera istirahat. Lagi-lagi aku mendengarkan apa yang dikatakannya.

.:: To Be Continued ::.

0 comments:

Post a Comment

Template by:

Free Blog Templates