Berawal
ketika membuka akun Friends Request di salah satu jejaring sosial. Aku tidak
kenal dengan orang yang punya nama akun *e**y N*r**. Aku tidak peduli
siapa dia. Yang penting aku sudah menyelesaikan kerjaan ku,mengkonfirm
pertemanan di jejaring sosialku. Awal mula kami komunikasi ketika dia mengajak
aku chating. Seperti biasa,sifat cuek terhadap orang baru yang sudah mendarah
daging samaku keluar.Semua pertanyaannya aku jawab berdasarkan apa yang
ditanya, tidak ada yang namanya basa-basi. Basi mungkin.
Kesan
pertama sedikit illfeel liat
dia,ketika dia bilang mamanya boru Sinaga. Jujur saja,aku tidak percaya sama
sekali. Tapi,ketika dia sendiri tidak mengerti sama sekali tentang Pariban,baru aku percaya kalau mamanya boru
Sinaga. Kemudian dia minta nomor hp ku,seperti biasa lagi sikap cuekku kambuh.
Aku suruh dia ambil sendiri dari info di akun jejaring sosialku,tapi katanya
tidak ada. Aku tidak tahu dia beneran lihat atau malas lihat. Akhirnya aku kasih
nomor hp ku sama dia. Kami pun mulai smsan,tapi tidak dalam jangka waktu yang
lama. Mungkin hanya satu hari itu saja kami smsan. Aku tidak ingat. Kami pun
tidak ada komunikasi untuk dalam waktu yang sedikit lama.
Tidak
tahu ntah angin dari mana,aku mengkomentari status dia di jejaring sosial
tersebut. Menurut ku status dia sedikit menarik perhatian ku. Status GALAU yang
tidak jelas. Komentar tersebut berlanjut terus. Ngobrol lewat komentar status
Facebook itu sangad nyambung. Bawaannya ketawa terus baca coment itu. Ada sedikit
rasa tidak sabar untuk menunggu balasan komentar dari dia.
Kemudian
komentar-komentar tersebut berlanjut ke sms. Aku menikmatinya.
Kemudian
muncul perasaan menunggu-nunggu sms dari dia. Menanti-nantikan pesan singkat
dari dia. Cerita-cerita lucunya. Kejahilannya lewat kata-katanya. Resenya.
Isengnya. Aku mulai terbiasa dengan itu semua. Dan mulai merasa kecarian kalau
itu semua tidak segera datang. Akhirnya,aku pun menjadikan itu semua menjadi
kebiasaan. Seperti halnya aku biasa makan,minum,tidur,dan lain-lain. Dan ada
sedikit rasa terganggu,sedih (ntah apalah namanya itu) begitu melihat isi album
di profilnya.
Kemudian,aku
merasa diriku terancam. Terancam akan “jatuh” dihal yang sama.
Awalnya
aku takut kalau ini semua hanya sebelah pihak. Niat awal aku mau mengundurkan
diri pelan-pelan,sebelum dia menyadari semuanya. Ternyata dia terlalu cepat
menanggapi situasi. Semuanya jadi terbalik. Malah dia yang mau mengundurkan
diri,tidak secara pelan-pelan tapi spontan. Aku tidak bisa terima hal itu. Gak
tau kenapa,aku tidak mau dia menjauh.
Akhirnya
aku jujur tentang semuanya. Tentang semua kegelisahanku dan semua yang
kurasain. Aku hanya sekedar jujur saja. Tidak minta apa-apa dari dia. Ternyata
aku salah. Aku salah mengira kalo semuanya cuma aku saja yang ngerasainnya. Akhirnya
dia menyuarakan apa yang kupendam sendiri selama ini. Sebenarnya aku masih
sedikit ragu dengan apa yang disuarakannya itu. Gak mungkin secepat itu. Ntah
lah,dia lah yang tau itu.
Dia
menanyakan hal sama padaku,kenapa bisa secepat itu aku seperti ini. Aku hanya
menjawab kalo itu lah kelemahanku,terlalu mudah percaya pada orang lain. Mungkin
karena aku terlalu sering mengikutsertakan si Perasaan didalamnya. Jadi,si
Perasaan yang pegang kendali saat itu.
Kemudian
dia menawarkan ku sebuah posisi yang sangad penting. Posisi yang menurutku
sangad berharga. Aku menerima posisi itu. Menerima posisi itu tanpa ada paksaan
dari pihak manapun. Aku juga menerima posisi itu dengan kesadaran penuh. Aku
sepenuhnya sadar kalo aku harus menerima konsekuensi untuk rasa sakit yang
mungkin aku hadapi suatu saat. Karena aku yakin,keduanya itu berjalan bersamaan
meskipun tidak berdampingan. Tapi mereka tetap berjalan bersamaan.
Aku
menikmati posisiku sekarang. Dia banyak mengajariku hal-hal yang masih baru
untukku. Membuatku sedikit tidak karuan. Membuat rasa penasaranku semakin
menjadi-jadi. Menunjukkan kepadaku hal-hal yang sedikit ekstrim.
Kemudian
dia jujur tentang suatu hal. Hal yang menurutku masih sulit kuterima dengan
akal sehat,pikiran,maupun perasaan. Sok kuat. Ya,itu lah yang kurasain awalnya.
Ternyata rasanya seperti nabrak pintu sewaktu aku dikampus. Sakit. Jelas saja
sakit. Bingung,kaget,sedih,gamang,dkk. Aku sedikit menjaga jarak. Bukan untuk
apa-apa. Hanya untuk menenangkan diri sejenak. Tapi aku punya kepercayaan
semuanya itu hanya sementara. Dan betul. Semuanya hanya sementara. Semuanya
kembali seperti semula. Kami tertawa bersama lagi. Memulai keisengan
masing-masing.
***
Bersamaan
dengan berjalannya waktu,semakin banyak yang kuketahui tentang masalalunya. Tentang
perasaan yang dirasakannya hingga sekarang. Dan adanya beberapa kemiripan sikap
dan sifat antara yang dulu dengan yang sekarang. Sesuatu yang bernama “Galau”
kembali menemuiku. Aku lagi-lagi bingung,kaget,sedih,gamang,dkk. Aku lagi-lagi
tarik diri untuk sementara. Lagi-lagi mencoba untuk menenangkan diri. Tapi,untuk
kali ini sedikit sulit. Hal ini sudah menempati sedikit bagian di pikiran dan
perasaanku.
Akhirnya
aku sadar. Gak ada gunanya untuk menangisi keadaan. Gak ada gunanya marah sama keadaan. Gak ada
gunanya lari dari keadaan. Aku memilih untuk berdamai dengan keadaan. Aku
memilih untuk bersikap optimis pada keadaan. Aku juga harus terima kalau
ternyata aku sebenarnya belum bisa masuk kedalam hatinya. Mungkin harus antri.
Tapi,meskipun
seperti itu.Masih ada yang mengganjal didalam sini. Awalnya aku tidak tau itu
apa. Ketika aku lagi melarikan diri seperti biasa ke lantai atas,akhirnya aku
tau apa penyebabnya. Aku takut. Aku khawatir. Semua yang kami lalui selama itu
sudah pernah dilaluinya dengan yang dulu. Aku khawatir kalau semua yang kami
lalui adalah flash back dari
cerita-cerita mereka yang dulu. Semua kejadian-kejadian mereka dulu aku review kembali.
Aku
jadi merasa kalau aku tidak bisa menjadi diriku sendiri ketika bersamanya. Aku
takut dia menyayangiku karena dirinya yang dulu terpantul lewat diriku. Aku
takut dia melihat bayangan dirinya yang dulu lewat diriku.
Hmm....Dengan
berjalannya waktu lagi,perasaan mengganjal itu lama-lama menguap. Hilang secara
perlahan. Aku mulai bisa berdamai dengan keadaan. Aku mulai bisa menerima
keadaan. Aku berpikir,”Boleh saja sekarang aku tidak bisa menggantikannya
disana,tapi aku yakin suatu saat,ntah kapan pun itu,aku bisa menggantikannya
disana.” Aku yakin dimana suatu saat keadaan pasti berpihak kepadaku. Aku
juga yakin,ada hal-hal yang tidak dimilikinya yang kumiliki.
***
Semuanya
berjalan baik-baik aja. Yaa...begitulah kira-kira yang kurasakan. Tidak ada
sedikitpun rasa mengganjal. Sedikit pun gak ada. Kemudian dia tiba-tiba
memberitahukan kepadaku sesuatu hal. Hal yang sampai sekarang aku tidak tahu
kebenarannya. Yaitu,adanya ketidaksetujuan dari pihaknya.
Aku bisa terima
hal itu. Gak mungkinkan aku paksakan kehendakku sama keluarganya. Akhirnya kami
menjalani hubungan Backstreet (mungkin). Aku tidak mempermasalahkannya asal dia
bersamaku dan selalu ada untukku. Dia mengaku kalau dia sedih saat itu. Hubungan
seperti ini kami jalani dalam beberapa waktu.
Tapi...ada sedikit
yang diluar kebiasaan. Intensitas komunikasi kami berdua semakin lama semakin
berkurang. Aku tidak mau berpikiran buruk saat itu. Mungkin dia lagi sibuk
berkerja atau lagi cape, dan mungkin karena kegiatan dikampus yang mulai
menguras perhatian ku.
Ketika kami
bertelepon, sangat jarang kami berdua mengobrol serius. Biasanya langsung to
the point untuk suatu hal. Selesai itu langsung tidur. Tidak ada saling
mempertanyakan kegiatan masing-masing selama satu hari. Tidak ada berbagi
cerita tentang keluh kesah.
Aku kembali
tidak mau berpikir buruk. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah “yang
penting dia senang dan nyaman”. Ckckck...Pikiran yang salah.Dan aku pun menipu
diriku sendiri.Aku sebenarnya tidak menikmati hal itu. Sangat-sangat tidak
menikmati. Tapi aku berpura-pura sangat menikmatinya. Bener-bener bukan diriku
yang sebenarnya.
Kalau pun kami
pernah mengobrol, pokok bahasannya tidak akan melenceng jauh dari masalalunya.
Tidak apa-apa. Aku bisa menerima hal itu. Setiap orang dimuka bumi ini punya masa
lalu. Aku bisa berbesar hati mendengar itu semua. Mendengar pengakuannya.
Puncak dari
kegelisahanku adalah ketika aku pulang kerumah ketika liburan semester. Aku
tidak sanggup berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Tapi aku tetap tidak
bisa menyuarakan apa yang kurasakan mengenai kegelisahan ini.
Intensitas
komunikasi itu semakin kurang dan menghilang. Kacau. Aku semakin kacau. Ketika
keluarga kami mendapat kejadian yang buruk, aku juga mendapat kabar yang tak
kalah buruk juga. Bertepatan saat itu aku sedang melayat dan ketika acara
pemakaman telah selesai,aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepadanya.
Hari itu
bertepatan tanggal 26 Desember 2011, Natal kedua. Isi pesan singkat itu seperti
ini, “Sayangnya dirimu samaku? Jujur.” Kira-kira seperti itulah isinya. Saat
itu aku mengharapkan dia menjawabnya sambil bercanda seperti yang biasa dia
lakukan samaku. Ternyata balasannya sangat-sangat membuat rasa dukaku semakin
parah. Aku tidak ingat secara pasti apa isi balasannya. Aku hanya ingat satu
kata,yaitu JENUH.
Sesak. Itu
respon pertama dariku. Aku tidak tau apa respon pertama darinya. Dan didalam
balasannya itu juga tertera makna untuk mengakhiri hubungan ini. Apa yang harus
aku lakukan? Ya,pertanyaan yang sangat klise. Jawabannya adalah aku menyerah. Aku
tidak punya hak untuk memaksakan kehendakku kepada siapa pun,termasuk dia. Aku
mengiyakan permintaannya tanpa ada sedikit pembelaan atau pun minta penjelasan
dari dia. Karena hal itu tidak memiliki kegunaan sama sekali.
Aku kembali berpura-pura
tegar ketika menjawab permintaannya tersebut. Tapi aku tidak setegar itu. Saat
itu tidak air mata yang tumpah. Sama sekali tidak ada. Aku tidak mencoba untuk
tegar,tapi karena aku seketika lupa caranya mengeluarkan air mata. Bukan
berarti karena tidak air mata pada saat itu,rasa sakit yang kurasakan tidak
seberapa, malah saat itu rasa sakitnya benar-benar parah.
Setelah
meninggalkan rumah keluarga yang lagi berduka tersebut dan setelah aku tengah
berada dikamarku dan merasa aman, air mata itu tumpah tanpa ada persetujuan
dari pihak manapun. Tapi aku masih bisa mengontrol diri untuk tidak menjadi
bahan bicaraan dan menjadi sasaran pertanyaan-pertanyaan orang rumah karena
melihat mataku yang bengkak seperti kena sengat taon.
Aku memutuskan
untuk belajar. Belajar untuk melupakan. Sulit. Sangaaaaatt sulit. Rasa sakit
itu mengalami masa-masa sulit selama kurang lebih 1 bulan. Dan puncaknya ketika
kami sekeluarga pulang kampung pada saat Tahun Baru. Aku sama sekali tidak bisa
mengontrol diri saat itu. Sekalipun aku berada dilingkungan yang berbeda saat
itu,tidak berarti menyurutkan rasa sakit itu.
Malah aku sering
melakukan hal bodoh saat itu.Menyakiti diriku sendiri..Benar-benar tindakan
yang bodoh. Aku mencari jalan pintas untuk menghilangkan rasa sakit itu. Yang
ku temukan hanya tindakan bodoh itu. Sampai akhirnya salah satu jariku
bermasalah.
Ketika tepat
pukul 00.00, keluarga melepaskan kembang api. Yang kulakukan saat itu hanya
menangis. Menangis dibawah suara ledakan dan dibawah bunga-bunga api. Aku
memutuskan untuk meneleponnya untuk mengucapkan selamat tahun baru. Sungguh
respon yang sangat jauh dari harapan.
Dan ketika aku
kembali menyentuh luka itu dengan melilhat profil Facebooknya,yang kulihat
disana adalah statusnya yang mengatakan dia sudah menjalin hubungan dengan seseorang,
rasanya perih luar biasa. Rasanya seperti luka yang beri alkohol 99 %. Sedikit
hiperbola memang, tapi mau gimana lagi kalau memang seperti itu adanya.
Selama beberapa
hari kedepannya adalah saat-saat paling memuakkan untukku. Hingga sekarang luka itu masih
sangat segar. Terlalu segar. Dan kalau boleh jujur, aku tidak bisa
mempersalahkannya untuk hal ini. Tidak ada seorang pun yang bersalah untuk hal
ini. Yang salah hanya keadaan. Keadaan yang mendorong diri kami masing-masing
sehingga seperti ini.
“Gak
ada gunanya untuk menangisi keadaan.
Gak ada gunanya marah sama keadaan.
Gak
ada gunanya lari dari keadaan.
Aku
memilih untuk berdamai dengan keadaan.
Aku
memilih untuk bersikap optimis pada keadaan.”
0 comments:
Post a Comment