"Apa
yang salah?? Kenapa perut ini kok sering sakit?", aku cuma bisa mengeluh
sendiri didalam hati sambil menahan rasa nyeri di perut sehingga aku
berpura-pura masih ikut dalam perbincangan antar kamar dikostanku. Keringat
dingin mulai muncul di keningku, bibir semakin menunjukkan tanda-tanda pucat
pasi di wajah. "Aduh!!",keluhku tanpa sadar mengeluarkan suara. Semua
mata berpaling melihatku, "Ada yang salah?". "Kenapa?".
"Ada yang sakit?". Semua melontarkan pertanyaan.
Saatnya
mengeluarkan jawaban andalanku "Gak apa-apa",sambil tersenyum
meyakinkan. Tapi ada sepasang mata yang tidak bisa kubohongi. Matanya. Seratus
persen tidak bisa mengelak dari matanya. Wajah itu seolah-olah mengatakan
"Tunggu saatmu. Kau tidak akan bisa berbohong samaku".
Aarrgghh...selalu wajah itu. Aku tidak bisa mengelak.
Keringat
dingin semakin deras. Nyeri diperut semakin menjadi-jadi. Aku tidak tahan lagi.
Kuputuskan untuk undur diri dari perbincangan itu dengan menggunakan alasan
yang klise,mengantuk. Lagi-lagi mata itu mengatakan hal yang sama. Okelah..aku
tunggu dirimu,balasku dengan tatapan kepadanya.
Dengan
berlari-lari kecil sambil menahan sakit akhirnya aku sampai dikamar 3x3,5 m
itu. Tidak ada waktu menunggu lagi,kujatuhkan badan ini ke tempat
tidur,meringkuk,meringis,dan akhirnya menangis karena tidak tahan sakit
ini.
Tok..tok..tok...
Aaggkhh...pasti
dia dengan omelan andalannya. "Masuklah",ucapku lirih. "Ada apa?
Apa yang sakit?",diriku dijatuhi pertanyaan-pertanyaan dari dia. Aku
memberitahunya dengan suara lirih karena menangis. Tidak ada gunanya melarikan
diri dari pertanyaannya karena bisa berakibat fatal.
Terlihat
kecemasan diwajahnya. "Tidak apa-apa. Cuma butuh istirahat.Besok udah gak
sakit lagi kok." Aku mencoba meyakinkannya.
"Yasudah...Tidurlah." Akhirnya aku tidur,lebih tepatnya ketiduran
karena tetap menagis menahan sakit.
Benar
saja. Keesokkan harinya rasa sakit itu memang hilang. Tapi ada yang mengganggu.
Setiap aku melangkkahkan kaki untuk berjalan ada rasa nyeri diperut bagian
bawah sebelah kanan. "Ada apa ini?", aku berbicara sendiri sambil
sesekali menekan dibagian yang sakit tersebut. Rasa sakitnya semakin terasa
ketika aku menekannya. Aku gelisah.
Aku
memutuskan bermain kesebelah kamarku. Tepatnya kekamar dia. "Gimana? Masih
sakit?",tanyanya. "Gak kok",jawabku sekenanya. Aku tahu dia
tidak puas dengan jawaban ku. "DIbagian mana yang sakitnya?",tanya
ingin tahu. Kujawab sesuai dengan apa yang kurasakan. Dia bingung. "Itukan
bagian usus",komentarnya seolah-olah sangat paham untuk bagian itu. Aku
ikutan bingung. Tiba-tiba aku teringat saat masa-masa SMA kelas XII.
Aku
kembali ke kamarku,mengambil Notebook,menyalakannya,dan mencolokkan
modem. Setelah yakin sudah tersambung ke Internet, aku mulai
mengutak-atik keyboard Notebookku. Akhirnya semua Hasil
Penelusuran sudah keluar sesuai dengan keyword yang ku ketikkan. Aku
memilih satu sampai tiga dari hasil penelusuran tersebut dan membacanya.
Kecurigaanku
terbukti. Gejala yang aku alami saat kelas XII SMA kemarin aku rasakan kembali.
Saat anganku kembali masa itu, dia masuk ke kamarku melihat apa yang terpancar
dilayar Notebookku.
"Usus
buntu?",tanyanya kebingungan. "Hmm?? Mungkin",jawabku ala
kadarnya.
"Kenapa
bisa begitu?"
"Kelas
XII SMA aku pernah mengalaminya. Kata dokternya masih gejala. Rasa nyeri yang kurasakan
sekarang sama persis seperti yang kemarin. Dan yang tertulis disini pun sama
persis seperti yang aku rasakan sekarang",jawabku sambil menunjuk layar.
"Jadi
gimana?"
"Ntahlah...",jawabku
menggantung.
"Kok
ntahlah?!?? Ya harus berobatlah..",dia pun akhirnya memulai repetannya.
"Tidak sekarang,please..",jawabku dalam hati. Setelah
perundingan yang lumayan lama. Akhirnya aku setuju untuk berobat langsung ke
dokter spesialis penyakit dalam.
Keesokkan
harinya setelah pulang kuliah dengan rasa nyeri yang timbul lagi, kami berdua
pun pergi ke dokter. Beruntung saat itu tidak banyak pasien sehingga aku tidak
perlu terlalu lama menunggu dan tidak perlu terlalu lama menahan rasa
nyeri.
Akhirnya
tiba giliranku. Aku masuk keruang periksa dengan didalamnya seorang dokter yang
sudah berumur, yang kebetulan kami memiliki Family name yang sama, dan
seorang perawat yang menjadi asisten si dokter.
"Apa
keluhannya?",tanya dokter.
"Sakit
perut di bagian kanan bawah",jawabku dengan suara lirih.
"Sejak
kapan?",tanya dokter lagi.
"Sudah
ada kurang lebih 3 minggu",jawabku lagi.
"Pernah
demam?"
"Pernah",jawabku
kebetulan aku baru sembuh dari sakit demam.
"Pernah
muntah?"
"Pernah."
"Naik
ke tempat tidur",perintah dokter. Aku menurut. Kubiarkan perawat tersebut
membimbingku ke tempat tidur periksa. Perawat tersebut mengambil alat untuk
mengukur tekanan darah. Menggulung lengan bajuku sebelah kanan dan
mempersiapkan semua alatnya. "110 per 80,dok",kata perawat ke dokter
itu.
Kemudian
dokter itu beranjak dari tempat duduknya menuju ke tempat tidur periksa.
Kebetulan saat itu aku mengenakan celana jeans lengkap dengan tali pinggang.
Aku disuruh untuk melepaskan tali pinggangku. Setelah yakin kalau aku sudah
bisa untuk diperiksa,si dokter mulai mengambil ancang-ancang.
Dia
menekan pas diperutku yang sering nyeri itu sontak saja aku langsung
mengeluarkan suara kesakitan."Sakit?",tanya dokter itu. "Ini
dokter budeg atau??",komentar ku dalam hati. "Sakit",jawabku
sambil meringis. Dia kembali mengambil ancang-ancang dan kemudian mengangkat
kakiku sambil di tekuk. Aku kembali meringis kesakitan.
"Radang
Apendiks ini",putus si dokter sambil kembali menuju mejanya. Aku tidak
kaget lagi mendengar komentar dokter itu. Aku membereskan diriku dan turun dari
tempat tidur periksa kembali duduk.
Si
dokter mulai menulis-nulis diatas buku yang semua orang menyebutnya resep. Dia
mengatakan,"Jangan makan yang pedas-pedas. Jangan makan yang
keras-keras". "Keras?? Kerikil?? Atau batu bata??",pikirku
konyol. Kemudian dia menyerahkan kertas resep itu dan aku keluar. Setelah itu
aku mengurus administrasinya lalu pulang.
"Apa
kata dokternya?",tanya dia.
"Sesuai
apa yang kucurigai kemarin",jawabku singkat.
"Jadi
memang benar?",tanyanya balik.
"Begitulah
yang kudengar dari dokter itu"
"Jadi
selanjutnya gimana?"
"Kita
ke apotik,menanyakan berapa kira-kira harga untuk menebus resep ini."
Kami
berdua pun menuju salah satu apotik yang ada di sekitar situ. Menyerahkan resep
itu kepada penjaga apotiknya dan menunggu. Kemudian penjaga apotik itu keluar
dan mengatakan,"Satu dari antara tiga obat ini tidak ada disini."
"Oh..kalau
yang dua ini jadi berapaan?",tanyaku penasaran.
"Dua
ratus tiga puluh ribu",jawab penjaga apotiknya. Kaget. Aku kaget
mendengarnya kemudian undur diri. Kami pergi ke apotik yang lain. Jawaban yang
sama kami terima. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke kost.
Kami
berunding dan akhirnya di putuskan sekitar jam 19.00 WIB kami pergi ke apotik.
Kami pergi setelah makan malam ke apotik K 24. Disana ketiga obat itu ada. Dan
setelah ditanya harganya berapa,mereka menjawab,"Empat ratus tiga puluh
ribu." Aku bingung. Untuk anak kuliahan seperti aku dana sebesar itu tidak
gampang. Harus ada konfirmasi ke orang tua dulu. Karena sebenarnya orang tua
tidak tahu kalau aku sakit. Mau tidak mau akhirnya aku menelepon pihak
keluarga. Aku menelepon kakak ku yang saat itu ada di Papua dimana perbedaan
waktu kami sekitar 2 jam.
Aku
mencoba kembali keberuntunganku. Semoga dia belum tidur. Syulurlah..teleponku
diangkat. Aku menceritakan semuanya. Dia kaget mendengarnya. Dia memberi saran
agar aku memberitahukan ke orangtua dan aku disaran untuk berobat lagi ke
dokter yang lain untuk memastikannya dan untuk mencari solusi yang cepat karena
radang usus buntu bukan penyakit yang bisa ditunggu-tunggu.
Aku
menerima saran itu dan menelepon ke rumah. Orang tua juga setuju dengan saran
kakak untuk berobat ke dokter lain. Tapi kali ini aku harus ada pendamping
yaitu kakakku yang paling besar yang kebetulan di kota Medan juga bertempat
tinggal.
Keesokkan
harinya saat aku masih dikampus,aku menerima telepon dari rumah. Mama
mengatakan kalau dia akan berangkat ke Medan dengan Kereta Api Sribilah Malam. Aku
sedih. Mereka jadi repot karena aku. Ada perasaan tidak enak samaku.
Saat
pukul 6 pagi-kurang lebih-Mama sampai dikostku. Kami memutuskan setelah aku
pulang kuliah kami akan pergi ke dokter guna untuk memastikan kondisiku.
Setelah pulang kuliah aku dan Mama pergi,kami janjian dengan kakakku yang
paling besar dipraktek dokter.
Ternyata
dokter yang bekerja dipraktek itu sudah lansia. Umurnya sudah mencapai 80
tahun. Ada keraguan di kami. Ragu kalau hasil pemeriksaannya tidak valid. Kami
mencari praktek dokter yang lain. Akhirnya ketemu. Saat itu masih cuma aku yang
sebagai pasien.
Setelah
mengisi identitas dan sebagainya aku disuruh masuk diruang periksa. Kembali aku
dijatuhi pertanyaan. Aku menjawab hal yang sama ketika aku periksa kemarin. Aku
disuruh berbaring di tempat tidur periksa dan diperiksa sama juga seperti yang
kemarin.
"Radang
usus buntu ini. Harus dioperasi",begitulah komentar dokternya. Aku kaget
mendengar kata operasi ini.
"Harus
di operasi,dok?",tanya mama memastikan.
"Iya..Harus
dioperasi. Karena saya lihat ini sudah parah",komentar dokternya. Aku
tidak tahu apa dokter ini hanya menakuti atau memang benar yang dikatakannya.
"Tapi
dia lagi ujian",kata Mama.
"Ya
permisi dululah."
"Gak
bisa rupanya,dok menunggu 2 minggu lagi setelah dia selesai ujian? Untuk 2
minggu ini dia makan obat dulu",tawar mama.
"Bisa.
Saya bisa memberi dia obat. Tapi saya tidak bisa menjamin kalau obat itu bisa
membuat sakitnya kambuh lagi. Karena kalau sudah pecah sudah serius itu. Saya
tidak bisa menjamin kalau hal itu tidak akan terjadi",jawab dokter itu
sambil menakut-nakuti mungkin.
"Jadi
gimana?",tanya mama ke aku.
"Yasudah..Permisi
sajalah aku..",jawabku sambil takut.
"Saya
akan memberikan surat rujukan ke Rumah Sakit Estomihi",jawab si dokter.
"Jadi
kapan operasinya,dok?",tanya mama memastikan.
"Malam
ini juga",jawab dokternya. "HAH??!!!?? Malam ini??!!? Tanpa ada
persiapan?",pikirku.
"Yasudah....Iya,dok.
Malam ini operasinya. Minta tolong buatkan surat izin untuk ke kampusnya
yaa,dok.",kata mama.
Segala
surat-surat sudah selesai. Administrasi pun begitu. Akhirnya kami langsung ke
RS Estomihi tanpa balik dahulu ke kost untuk mengambil barang-barang yang
diperlukan.
Setelah
sampai di RS Estomihi,kami mengisi data-data pasien dan menentukan kamar.
Kemudian aku di suruh masuk keruangan UGD. Aku disuruh rebahan menunggu perawat
yang bertugas karena dia lagi mengurus balita yang terkena step. Setelah itu
dia menghampiriku dengan alat-alatnya yang terkenal dengan tusukannya yang
dibilang orang-orang seperti digigit semut.
Dia
mengangkat lengan bajuku karena kebetulan aku pakai lengan panjang,baju yang
aku pakai ke kampus. Kemudian dia menusukkan dipergelangan tanganku dan mulai
menyedot darahku. Tidak tahu ntah berapa cc. Dia juga memerikan wadah kecil
yang katanya untuk menampung urinku. Semua yang disuruhnya aku kerjakan.
Setelah wadah tersebut sudah berisi urinku,wadah tersebut kukembalikan kepada
yang berwajib.
Tidak
ada perasaan takut sedikit pun samaku karena mau dioperasi. Aku kembali rebahan
menunggu giliranku untuk dikerjai. Kemudian dia datang dengan alat yang sama
tapi kali ini alatnya berisi cairan. "Tusuki kalianlah..Gak kalian rasakan
kok sakitnya",omelku dalam hati.
Dia
menusukkan jarum itu dan memasukkan cairan itu kedalam tanganku. Kerjaannya
tidak berhenti sampai disitu,dia mengambil pulpen dan menggoreskan pulpen itu
dengan pola melingkar dibekas suntikan itu dan menuliskan pukul berapa saat
itu. "Terserah kalianlah...",bisikku pada diri sendiri.
Tidak
berakhir disitu,dia kembali dengan alat yang kurang lebih sama tapi kali ini
dia membawa tiang besi. Ya apa lagi kalau tidak untuk infus. "Mau ditangan
mana?",tanyanya minta persetujuan dari aku. "Yang kiri
aja",jawabku. "Mau yang kiri atau yang kanan tetap saja kalian suntik
kan?",pikirku.
Dia
menyuruhku mengepalkan tanganku dan mulai mencari-cari. Setelah yakin menemukan
yang tepat,dia mulai menusukkan jarum tersebut dan jarum itu hubungkan ke selang
yang sebelumnya sudah terhubung ke cairan yang tak sengaja kubaca Ringer
Laktat. Kemudian aku diantar ke ruanganku. Aku didorong menggunakan kursi roda.
Aku menunggu dikamar karena operasinya dimulai jam 21.00 WIB.
Ketika
jam 20.30 WIB aku dijemput perawat untuk diantar ke ruang operasi. Sampai
disana aku disuruh melepas semua pakaianku. Padahal ruangan itu dingin sekali.
Aku disuruh tidur ditempat tidur operasi hanya berselimutkan satu sarung.
21.30
WIB. Dokternya tidak kunjung datang. Aku hanya ditemani seorang perawat cewek.
"Masih lama lagi?",tanyaku karena sudah kedinginan. "Dokter
anestesinya belum datang",begitu jawab perawatnya.
Gigiku
sudah saling beradu. Dokter tak kunjung datang. Si perawat malah asyik bertelepon
dengan bualannya. Suasana yang sangat jauh untuk diharapkan.
23.00
WIB. Akhirnya dokternya datang juga. Mereka masuk ke ruang operasi dengan jubah
warna hijau tuanya. Mengambil peralatan untuk merobek perutku. Aku disuruh
duduk. Punggungku dilumuri oleh Betadine kemudian dibersihkan kembali dengan
alkohol. Aku disuruh untuk menunduk. Kemudian kurasakan jarum bius mereka
menusuk tulang belakangku. Gagal. Mereka mengulanginya. Berhasil. Cairan bius
itu masuk ketubuhku.
Aku
melihat bayangan diriku dilampu operasi. Kemudian aku berdoa didalam hati
semoga operasinya berjalan lancar. Kaki mulai terasa kebas. Lama kelamaan tidak
bisa digerakkan lagi. Itu artinya bius sudah bekerja. Saatnya mereka yang
bekerja.
"Kalau
mau tidur,tidur saja yaa..",kata dokter anestesinya.
"Iyaa..",jawabku.
Tiba-tiba saja mataku langsung berat dan tertidur padahal aku sama sekali tidak
mengantuk.
Aku
tidak tahu apa yang mereka kerjain. Operasinya berlangsung kurang lebih 1
jamdan berjalan lancar. Setelah itu aku cuma tahu kalau aku diseret keluar dari
ruang operasi. Aku belum sadar sepenuhnya. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa
sampai di tempat tidur kamar inapku. Luka operasi yang aku dapatkan kira-kira
panjang 3 inci. Kurang Lebih.
Aku belum diperbolehkan makan dan minum. Harus menunggu sampai besok pagi pukul
06.00 WIB. Itupun hanya boleh minum hanya beberapa sendok makan. Biusnya masih
bekerja. Karena kakiku masih belum bisa kugerakkan. Aku sudah sadar tapi belum
seratus persen. Aku cuma sudah kehausan. Tidak tahan harus menunggu sampai
besok pagi.
Keesokkan
harinya aku diperbolehkan minum tapi hanya beberapa sendok. Tidak apalah yang
penting bibir ini sudah dibasahi. Dan disiang harinya kira-kira jam 13.00 WIB
lebih biusnya sudah tidak bekerja lagi. Rasa nyeri luar biasa aku rasakan. Aku
menangis karena tidak tahan.
Rasa
nyerinya tak terkatakan apalagi aku masih belum bisa bergerak banyak. Hanya
bisa bisa tidur telentang. Punggung pun panas. Aku harus belajar untuk miring
ke kiri dan ke kanan besoknya. Hari selanjutnya belajar duduk. Kemudian belajar
berjalan.
Operasiku
berjalan pada tanggal 21 November 2012 pada pukul 23.00 WIB. Aku keluar dari
rumah sakit Estomihi pada tanggal 24 November 2012 pukul 11.00 WIB.