Wednesday, June 26, 2013

SAAT ITU Part 2



Pagi itu aku terbangun karena suara dering handphone kakak itu. Dia lebih dahulu bangun daripada aku. Dia kembali masuk kekamar untuk mengambil handphonenya. Aku pura-pura tidur ketika dia masuk. Kepalaku terasa berat pagi itu. Aku mendengarkan dia menelepon. Tak susah untuk menebak siapa yang menelepon itu. Aku juga mendengar kalau dia sudah dalam perjalanan kerumah kakak itu untuk menemuiku.
            Aku yang masih sakit hati tak mau tahu tentang itu. Aku kembali pura-pura tidur hingga dia sampai kerumah kakak itu. Aku mendengarkan mereka bercerita didepan. Hanya sekedar basa basi.
            Sampai akhirnya kakak itu masuk kekamar untuk membanguniku. Aku tahu tujuan kakak itu membanguniku. Kakak itu berpikir kalau aku tidak tahu dia sudah disana. Dia membanguniku dengan iming-iming mengajakku belanja. Aku menurut saja. Aku keluar dari kamar dan langsung kekamar mandi. Pandanganku lurus kedepan, aku tahu dia lagi duduk didekat pintu kamar. Aku tidak menggubrisnya sedikitpun. Aku harus menyiapkan diriku terlebih dahulu.
            Setelah dari kamar mandi,aku melihatnya dan tersenyum lalu langsung masuk lagi ke kamar. Aku dipanggil sama kakak itu untuk keluar. Aku pun kembali menurut saja. Aku duduk didekatnya dan tetap diam.
            Kemudian dia angkat bicara. Mulai menjelaskan semuanya. Dan aku mendengarkan. Aku mendengarkan semua yang dikatakannya. Dia mengatakan kalau kejadian semalam hanya karena salah paham. Dia juga mengatakan kalau semalam keluarganya lagi dalam suasana hati yang kurang baik karena hasil pemeriksaan yang kurang memuaskan. Aku tetap diam.
            Aku mulai angkat bicara ketika dia mulai memojokkanku dengan perkataan-perkataan yang bermakna aku akan meninggalkannya karena kondisinya yang begitu. Menurutnya aku bersikap begini karena kondisinya. Dia juga mulai menjatuhkan dirinya didepanku. Membuatku merasa bersalah. Dan dia berhasil membuatku merasa bersalah. Akhirnya aku angkat bicara. Dia membujukku untuk kembali ke kost. Aku tak mau. Bahkan untuk berpapasan dengan mereka saja aku sangat tak mau. Aku mulai tak bersahabat dengan tempat itu.
            Aku mengatakan aku mau ke rumah kakak ku yang di Tanjung Morawa. Akhirnya dia menyetujuinya. Tapi sebelumnya aku harus ke kost dulu untuk ganti baju. Aku sedikit enggan kesana. Aku tak suka. Tapi dia berhasil membujukku dengan syarat aku tak mau berpapasan dengan siapapun disana.
            Aku mulai tak suka dengan kondisi ini. Untuk kerumahku sendiri saja aku harus masuk seperti pencuri. Selain karena aku tak mau berpapasan dengan mereka,dia juga mendukung perbuatanku ini. Setiap kali dia mau jumpa denganku,kami harus bertemu disuatu tempat. Setiap kali aku pulang kekost harus lihat situasi dahulu. Aku benci dengan kondisi ini. Tapi tak ada usaha dari dia untuk memperbaiki kondisi ini. Akhirnya aku mulai menganggap kalau tempat itu tak layak disebut rumah lagi.
            Aku jadi lebih banyak menghabiskan waktuku di Executive Printing House. Aku lebih nyaman berada disana. Aku bisa tertawa seperti biasa. Aku selalu mencari-cari alas an agar bisa kesana. Aku betah bercanda dengannya. Aku betah bercerita dengannya.
            Aku jadi lebih nyaman ditempat orang lain daripada ditempatku sendiri. Aku jadi terbiasa kesana. Aku lebih memilih menghabiskan waktu bersamanya ketimbang berada ditempat itu.
            Lambat laun perasaanku dengan dia mulai menguap. Sementara perasaanku dengan dia yang membuatku tertawa mulai mengkristal. Ada perasaan aku ingin selalu bersamanya. Ada perasaan aku ingin ada untuknya. Aku mulai ingin hadir dalam hidupnya. Aku mulai memikirkannya sebagai pria.
            Tapi aku tak berani mengikuti perasaanku. Aku masih terikat dengannya. Tidak mudah bagiku mengakhiri hubunganku dengannya mengingat sudah jauhnya dia masuk dalam keluargaku dan melihat penerimaan keluargaku dengannya.
            Aku kembali berperang. Berperang dengan diriku sendiri. Ketika perasaanku menyuruhku untuk mengikuti kata hatiku sementara logika menyuruhku untuk melihat sekelilingku. Dan akhirnya logikaku menang. Aku memilih bertahan dengannya walaupun perasaanku tak seperti dulu dengannya. Saat itu aku hanya memikirkan keluargaku. Aku mengikuti logikaku tapi tetap pergi ketempatnya. Kondisi yang aneh.
            Tapi aku tak dapat bertahan lebih lama lagi. Aku tersiksa dengan kondisi begini. Aku tidak menuruti kata hatiku. Aku berpura-pura tak memiliki perasaan apapun. Aku mengikuti logikaku sementara didera oleh rasa yang sangat tidak nyaman lagi. Saat itu aku sangat tidak nyaman dengannya. Aku jadi berpura-pura didepan mereka berdua. Berpura-pura kalau semuanya baik-baik saja. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan didalam kepura-puraan ini sementara hatiku taruhannya??
            Waktu terus berjalan dan aku semakin banyak berpikir. Kemudian muncul dilema baru. Dilema yang mengancam perasaanku harus berhenti. Mereka berdua adalah sahabat baik. Itu masalah barunya. Hanya karena aku mereka harus mengorbankan persahabatan mereka?? Oh,betapa tak pantasnya itu. Aku kembali memilih melupakan perasaan itu. Aku mencoba meyakinkan diriku kalau itu hanya sekedar letupan-letupan asrama seorang wanita yang sedang dalam keadaan galau. Aku mulai mendoktrin diriku begitu.
            Apa daya? Logika dan perasaanku tak sejalan. Mereka ambil langkah masing-masing. Logikaku mendoktrinku begitu,sementara perasaanku menyeretku kembali kesisinya. Hingga setiap malam aku menyibukkan diri dengan duduk dilantai atas sambil melihat kepekatan langit malam. Hanya duduk dan berpikir. Kembali menelaah setiap perasaan dan perbuatanku. Sebenarnya tak ada solusi yang kudapat ketika aku duduk dilantai atas. Aku hanya ingin berpikir. Itu saja.
            Ketika matahari mulai menjalankan tugasnya, perasaanku juga begitu. Perasaanku begitu pandai membuat kamuflase sehingga membawa langkah kakiku menuju tempatnya. Sehingga akhirnya logikaku mulai mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Aku mulai mengikuti perasaanku secara perlahan. Aku ingin dia melihatku. Itu langkah awalnya.
            Aku mulai menawarkan hal klise. Pesan singkat yang sedikit rutin. Kemudian aku mulai menunjukkan manfaat diriku. Hal itu aku buktikan ketika dia sedang mengalami masalah tenggorokan. Aku menawarkan kepadanya untuk meringankan sakit tenggorokannya itu. Aku tak peduli jarak yang kutempuh dari Tanjung Morawa ke Pancing hanya untuk membawakannya jus tomat pakai garam sedikit. Aku sangat senang ketika dia mau menerima tawaranku saat itu. Dengan senang hati aku melakukannya saat itu. Aku berharap dia mulai melihatku. Aku menemaninya menghabiskan jus itu.

.:: To Be Continued ::.

Friday, June 21, 2013

SAAT ITU Part 1



Dunia benar-benar tak bersahabat denganku. Kata-kata itu selalu kugumamkan dibibirku. Bagaimana tidak?? Semua pandangan mereka seolah-olah mengatakan “kau bukan bagian dari kami”. Kembali mataku terasa panas. Terancam akan menangis lagi. Yang kulakukan hanya terduduk dilantai didepan kamar kost-kostan teman. Apa yang kulakukan selanjutnya? Kembali kekamarku dan menghadapi tatapan-tatapan itu?? TIDAK!! Aku tidak akan kembali kekamar itu lagi. Keputusan sudah bulat. Aku lari dari situasi ini. Apa itu keputusan yang pas? Aku kembali bertanya pada diriku sendiri.
            Tanpa menjawab pertanyaan itu, aku langsung ambil langkah seribu pergi dari situasi ini. Aku sudah tahu kemana tujuanku. Executive Printing House.  Ya,aku akan kesana. Selama dalam perjalanan semua kejadian 30 menit terakhir kembali berputar-putar didalam kepalaku. Air mata kembali memaksa untuk keluar. Diriku terasa jatuh kedalam jurang tak berdasar. Aku terasa kosong tapi menyakitkan. Jantungku lupa fungsinya yang sebenarnya. Hatiku berdarah.
            Sial! Aku mengumpat dalam hati. Executive Printing House sudah tutup. Bagaimana ini?? Aku mengambil ponselku, satu-satunya benda yang kubawa. Mencari-cari didaftar kontak. Ketemu! Segera aku tekan tombol dial. Tuut..tuut..tuut..tuut… Nada tersambung terdengar tapi tak terdengar suara seorang lelaki yang aku harapkan untuk mengangkat telepon itu. Aku mencoba keberuntunganku lagi. “Ayolah”,aku menggumam. Tetap tak ada respon dari pemilik handphone. Aku kembali mencoba keberuntunganku untuk yang terakhir kalinya. Aku mengirim pesan singkat kepadanya. Setelah menunggu beberapa menit tetap tidak ada respon.
            Kali ini aku benar-benar terjatuh. Yang kulakukan selanjutnya mungkin mencari pertolongan orang lain yang tanpa bertanya kepadaku ada apa sebenarnya yang terjadi. Dan rasanya itu sangat mustahil. Tiba-tiba handphone ditanganku bergetar. Berharap dalam hati kalau itu adalah telepon masuk dari orang yang kuharapkan. Syukurlah. Harapanku terkabulkan. Dia meneleponku. Pembicaraan singkat itu mengatakan kalau aku berada didepan rentalnya. Aku duduk didepan pintunya persis seperti orang yang tak punya tujuan.
            Aku mendengar pintu terbuka dibelakangku. Akhh..ini orang yang kuharapkan. Aku memaksakan senyum terbaikku. Aku sangsi,mungkin hasilnya tak sebaik yang kuharapkan. Dia ambil posisi duduk tepat disampingku. Dia bertanya ada apa denganku sehingga membawaku sampai kesini. Aku tidak tahu harus memulai dari mana dan bagaimana. Akhirnya yang kulakukan kembali terseyum. Jelas saja dia tidak menerima senyuman itu. Orang buta saja tahu kalau ada sesuatu yang tidak beres terjadi pada diriku. Mataku kembali terasa panas dan perih. Sakit hatiku kembali terasa. Jantungku terasa ngilu mengingat kejadian itu.
            Karena tahu aku tidak akan segera angkat bicara,dia menyuruh agar kami ambil posisi yang selayaknya. Dia menawarkan kepadaku untuk ke Bandrek Krakatau. Aku menurut saja. Dia tidak secara langsung mencekokiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang akan menyulut air mataku jatuh semakin deras. Dia membiarkanku menyiapkan diriku untuk bercerita yang sebenarnya. Aku mengatur pikiran-pikiranku yang seperti benang kusut. Mengatur perasaan-perasaanku yang sangat kalut. Sampai aku benar-benar merasa siap untuk mencurahkan segala yang kusut dan kalut itu.
            Setelah merasa yakin kalau aku sudah siap untuk cerita,aku mulai angkat bicara. Tapi arah bicaraku ngawur. Aku memulai dengan sangat tidak baik. Yang ada membuat yang mendengar menjadi bingung. Untungnnya dia sabar mendengarkan semua yang kukatakan. Sebenarnya itu hanya intro untuk cerita yang sebenarnya. Kemudian aku mulai menceritakan semuanya dari awal. Mulai dari kejadian yang menimpa dirinya,betapa kalutnya aku,aku yang tak peduli dengan perkuliahanku asal aku bisa kesana sesuai yang dia inginkan,aku yang selalu ada disampingnya mulai dari rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lainnya,aku yang berusaha semampuku membantu keluarganya mengenai kasusnya dengan melibatkan keluargaku,aku yang malah mendapat cemohan dari orang tuanya yang laki-laki,aku yang tetap bertahan demi dia,dan kejadian yang baru saja terjadi yaitu aku dapat makian dari orang tuanya yang perempuan.
            Aku sadar,salah sebenarnya menghitung-hitung apa yang telah kita berikan kepada orang lain. Tapi kalau kejadiannya sudah begini,tidak ada cara lain. Dengan tujuan bukan untuk menghitung-hitung apa yang kita berikan tapi agar orang paham kondisi kita yang sebenarnya.
            Aku tak memaksanya untuk berada dipihakku. Aku hanya ingin seseorang mendengarkanku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi,telepon dari dia. Aku tidak peduli. Aku mematikannya. Dia menyuruhku untuk mengangkatnya tapi aku tidak mau. Dia bertanya kepadaku apa yang selanjutnya aku lakukan. Aku jawab tidak tahu. Yang jelas aku tidak mau pulang ke tempat itu. Aku tidak mau bertatap muka dengan orang-orang yang ada disitu. Dia bingung. Terus aku mau tidur dimana? Aku tidak peduli aku mau tidur dimana. Aku tidak peduli aku tidur atau tidak.
            Akhirnya setelah berunding sedikit lama akhirnya aku setuju dia memanggil adik stambuknya yang kebetulan sudah sangat dekat denganku. Dengan persetujuan aku tidur ditempat kakak itu. Dia sedikit lega karena akhirnya aku mau. Tapi dia masih bingung bagaimana menghadapi pelarian yang satu ini. Untungnya dia tetap mendengarkan apa yang kuceritakan. Telepon kembali berbunyi tapi tetap tak kuangkat. Dia kembali angkat bicara menyuruhku untuk mengangkat teleponnya. Aku kembali menyetujuinya.
            Setelah kakak itu datang, aku tidak langsung serta merta menceritakan semuanya. Karena hal itu sangat sulit. Dia Cuma tahu aku dalam keadaan yang sangat tak baik. Dan syukurlah dia mengerti. Tiba-tiba rasa sakit itu kembali memuncak sampai ke ubun-ubunku. Kali ini aku tidak dapat mengendalikan air mataku. Aku langsung buang muka,membelakangi mereka. Air mataku menetes tak karuan. Badanku berguncang menahan tangisan agar tak mengeluarkan suara. Dia tahu aku menangis. Tangannya langsung mengelus kepalaku. Sentuhannya seolah mengatakan”Semuanya baik-baik saja. Aku bersamamu”. Tubuhku semakin berguncang sambil menangis dalam diam. Dia kembali mengelus kepalaku,mencoba memberikan kekuatan kepadaku.
            Hatiku tersentuh. Ada sedikit kedamaian menyelip dari sentuhan itu. Aku bersyukur untuk orang-orang ini. Akhirnya aku memutuskan menghentikan tangisanku meskipun sulit. Dia menyuruhku untuk segera pulang bersama kakak itu dan segera beristirahat. Tapi ada sedikit rasa enggan untuk pergi dari situ. Dengan sedikit membujuk akhirnya aku menyetujuinya.
            Aku menghabiskan malam itu dengan pikiran-pikiran yang amburadul. Sesekali menangis dalam diam. Aku mencoba meredam rasa sakitku. Dia tetap menemaniku lewat pesan singkat. Menyuruhku untuk segera istirahat. Lagi-lagi aku mendengarkan apa yang dikatakannya.

.:: To Be Continued ::.

Template by:

Free Blog Templates