Pagi itu aku
terbangun karena suara dering handphone
kakak itu. Dia lebih dahulu bangun daripada aku. Dia kembali masuk kekamar
untuk mengambil handphonenya. Aku pura-pura tidur ketika dia masuk. Kepalaku
terasa berat pagi itu. Aku mendengarkan dia menelepon. Tak susah untuk menebak
siapa yang menelepon itu. Aku juga mendengar kalau dia sudah dalam perjalanan
kerumah kakak itu untuk menemuiku.
Aku yang masih sakit hati tak mau
tahu tentang itu. Aku kembali pura-pura tidur hingga dia sampai kerumah kakak
itu. Aku mendengarkan mereka bercerita didepan. Hanya sekedar basa basi.
Sampai akhirnya kakak itu masuk
kekamar untuk membanguniku. Aku tahu tujuan kakak itu membanguniku. Kakak itu
berpikir kalau aku tidak tahu dia sudah disana. Dia membanguniku dengan
iming-iming mengajakku belanja. Aku menurut saja. Aku keluar dari kamar dan
langsung kekamar mandi. Pandanganku lurus kedepan, aku tahu dia lagi duduk
didekat pintu kamar. Aku tidak menggubrisnya sedikitpun. Aku harus menyiapkan
diriku terlebih dahulu.
Setelah dari kamar mandi,aku
melihatnya dan tersenyum lalu langsung masuk lagi ke kamar. Aku dipanggil sama
kakak itu untuk keluar. Aku pun kembali menurut saja. Aku duduk didekatnya dan
tetap diam.
Kemudian dia angkat bicara. Mulai
menjelaskan semuanya. Dan aku mendengarkan. Aku mendengarkan semua yang dikatakannya.
Dia mengatakan kalau kejadian semalam hanya karena salah paham. Dia juga
mengatakan kalau semalam keluarganya lagi dalam suasana hati yang kurang baik
karena hasil pemeriksaan yang kurang memuaskan. Aku tetap diam.
Aku mulai angkat bicara ketika dia
mulai memojokkanku dengan perkataan-perkataan yang bermakna aku akan
meninggalkannya karena kondisinya yang begitu. Menurutnya aku bersikap begini
karena kondisinya. Dia juga mulai menjatuhkan dirinya didepanku. Membuatku
merasa bersalah. Dan dia berhasil membuatku merasa bersalah. Akhirnya aku
angkat bicara. Dia membujukku untuk kembali ke kost. Aku tak mau. Bahkan untuk
berpapasan dengan mereka saja aku sangat tak mau. Aku mulai tak bersahabat
dengan tempat itu.
Aku mengatakan aku mau ke rumah
kakak ku yang di Tanjung Morawa. Akhirnya dia menyetujuinya. Tapi sebelumnya
aku harus ke kost dulu untuk ganti baju. Aku sedikit enggan kesana. Aku tak
suka. Tapi dia berhasil membujukku dengan syarat aku tak mau berpapasan dengan
siapapun disana.
Aku mulai tak suka dengan kondisi
ini. Untuk kerumahku sendiri saja aku harus masuk seperti pencuri. Selain
karena aku tak mau berpapasan dengan mereka,dia juga mendukung perbuatanku ini.
Setiap kali dia mau jumpa denganku,kami harus bertemu disuatu tempat. Setiap kali
aku pulang kekost harus lihat situasi dahulu. Aku benci dengan kondisi ini.
Tapi tak ada usaha dari dia untuk memperbaiki kondisi ini. Akhirnya aku mulai
menganggap kalau tempat itu tak layak disebut rumah lagi.
Aku jadi lebih banyak menghabiskan
waktuku di Executive Printing House. Aku lebih nyaman berada disana. Aku bisa
tertawa seperti biasa. Aku selalu mencari-cari alas an agar bisa kesana. Aku
betah bercanda dengannya. Aku betah bercerita dengannya.
Aku jadi lebih nyaman ditempat orang
lain daripada ditempatku sendiri. Aku jadi terbiasa kesana. Aku lebih memilih
menghabiskan waktu bersamanya ketimbang berada ditempat itu.
Lambat laun perasaanku dengan dia
mulai menguap. Sementara perasaanku dengan dia yang membuatku tertawa mulai
mengkristal. Ada perasaan aku ingin selalu bersamanya. Ada perasaan aku ingin
ada untuknya. Aku mulai ingin hadir dalam hidupnya. Aku mulai memikirkannya
sebagai pria.
Tapi aku tak berani mengikuti
perasaanku. Aku masih terikat dengannya. Tidak mudah bagiku mengakhiri hubunganku
dengannya mengingat sudah jauhnya dia masuk dalam keluargaku dan melihat
penerimaan keluargaku dengannya.
Aku kembali berperang. Berperang
dengan diriku sendiri. Ketika perasaanku menyuruhku untuk mengikuti kata hatiku
sementara logika menyuruhku untuk melihat sekelilingku. Dan akhirnya logikaku
menang. Aku memilih bertahan dengannya walaupun perasaanku tak seperti dulu
dengannya. Saat itu aku hanya memikirkan keluargaku. Aku mengikuti logikaku
tapi tetap pergi ketempatnya. Kondisi yang aneh.
Tapi aku tak dapat bertahan lebih
lama lagi. Aku tersiksa dengan kondisi begini. Aku tidak menuruti kata hatiku.
Aku berpura-pura tak memiliki perasaan apapun. Aku mengikuti logikaku sementara
didera oleh rasa yang sangat tidak nyaman lagi. Saat itu aku sangat tidak
nyaman dengannya. Aku jadi berpura-pura didepan mereka berdua. Berpura-pura
kalau semuanya baik-baik saja. Tapi sampai kapan aku bisa bertahan didalam
kepura-puraan ini sementara hatiku taruhannya??
Waktu terus berjalan dan aku semakin
banyak berpikir. Kemudian muncul dilema baru. Dilema yang mengancam perasaanku
harus berhenti. Mereka berdua adalah sahabat baik. Itu masalah barunya. Hanya
karena aku mereka harus mengorbankan persahabatan mereka?? Oh,betapa tak
pantasnya itu. Aku kembali memilih melupakan perasaan itu. Aku mencoba
meyakinkan diriku kalau itu hanya sekedar letupan-letupan asrama seorang wanita
yang sedang dalam keadaan galau. Aku mulai mendoktrin diriku begitu.
Apa daya? Logika dan perasaanku tak
sejalan. Mereka ambil langkah masing-masing. Logikaku mendoktrinku
begitu,sementara perasaanku menyeretku kembali kesisinya. Hingga setiap malam
aku menyibukkan diri dengan duduk dilantai atas sambil melihat kepekatan langit
malam. Hanya duduk dan berpikir. Kembali menelaah setiap perasaan dan
perbuatanku. Sebenarnya tak ada solusi yang kudapat ketika aku duduk dilantai
atas. Aku hanya ingin berpikir. Itu saja.
Ketika matahari mulai menjalankan
tugasnya, perasaanku juga begitu. Perasaanku begitu pandai membuat kamuflase
sehingga membawa langkah kakiku menuju tempatnya. Sehingga akhirnya logikaku
mulai mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Aku mulai mengikuti perasaanku
secara perlahan. Aku ingin dia melihatku. Itu langkah awalnya.
Aku mulai menawarkan hal klise.
Pesan singkat yang sedikit rutin. Kemudian aku mulai menunjukkan manfaat
diriku. Hal itu aku buktikan ketika dia sedang mengalami masalah tenggorokan.
Aku menawarkan kepadanya untuk meringankan sakit tenggorokannya itu. Aku tak
peduli jarak yang kutempuh dari Tanjung Morawa ke Pancing hanya untuk
membawakannya jus tomat pakai garam sedikit. Aku sangat senang ketika dia mau
menerima tawaranku saat itu. Dengan senang hati aku melakukannya saat itu. Aku
berharap dia mulai melihatku. Aku menemaninya menghabiskan jus itu.
.::
To Be Continued ::.