Setengah menyeret langkah kakinya, Eirene akhirnya memutuskan
untuk tetap pergi ke rumah sakit. Setiap langkah kakinya selalu diiringi dengan
helaan nafas pasrah akan hal apapun yang akan terjadi selanjutnya. Pikirannya
selalu terbang ke kejadian kemarin. Setiap perkataan itu masih terpatri jelas
dibenaknya. Tapi dia tetap melakukannya demi orang yang sangat berharga
untuknya. Dia tetap berusaha untuk selalu ada dan selalu disamping orang itu.
“Yahh…begitulah
kehidupan. Selalu ada riak-riak kecil untuk mewarnai langkah ini”,katanya pada
diri sendiri mencoba menguatkan dirinya. Tapi dia tahu,sekuat apapun dia
berusaha untuk tidak terlalu memikirkan perkataan itu,sekuat itu juga ingatan
akan perkataan itu menempel permanen dipikirannya. “Akh..pulanglah aku sore ini. Bosan aku. Bukannya didengarkan apa yang
kubilang. Sudahku bilang jangan dulu diganggu tidurnya karena syaraf-syaraf
dimatanya masih lemah jadi dia butuh tidur. Hmm..yang seharusnya aku senang
dengan dia,sekarang jadi gak suka samanya. Bukan itu namanya sayang”.
Terjadi perubahan mimik wajah Eirene. Wajah yang sangat mudah ditebak. Wajah
kesedihan. Perubahannya sangat kontras sekali.
Perkataan itu
diucapkan oleh orangtua kekasihnya. Kekasihnya Eirene sedang dirawat dirumah
sakit karena dia mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar 1 minggu yang
lewat,yang mengakibatkan rusaknya penglihatan kekasihnya itu. Eirene ingin
menyampaikan apa yang ada didalam hatinya. Dia ingin orang-orang mencoba
melihat dari sudut pandangnya. Mencoba memahami apa alasan dia melakukan suatu
hal. Eirene punya semua penjelasan itu. Dia ingin mengutarakan. Tapi….
Ingatan itu
kembali lagi. Pandangan Eirene kosong, terbang ke kejadian semalam. Ibu kekasihnya mencoba menenangkan suasana.
Dia pergi keluar menyusul suaminya. Mungkin terjadi perbincangan diantara
mereka. Eirene pura-pura sedang asyik memperhatikan layar kaca televisi.
Pura-pura tidak ikut berada dalam perbincangan mereka. Pura-pura tidak sadar
kalau dia sedang disindir. Selang beberapa menit,akhirnya ibu Dave,kekasih
Eirene, kembali. Perubahan mimik wajahnya juga mudah untuk ditebak. Pandangan
Eirene tak sedetikpun lepas dari layar televisi. “Kenapa isi sms-mu seperti itu. Dianya yang lebih berharga
untuk kami. Tidak ada kami nomor dua-kan kesehatannya. Kenapa kalian pacaran
sekarang?”,akhirnya ibu Dave angkat bicara. Eirene tertawa. Tawa sumbang. Dia
ingin menyampaikan alasan kenapa dia mengetik seperti itu. Eirene punya
penjelasannya. Tapi dia lebih memilih untuk diam. Dia tidak mau menambah
suasana menjadi tidak karuan. dia tetap menatap layar televisi dengan tatapan
kosong. “Jangan dipikirkan apa yang mereka katakan. Biar dikenal merekanya
dirimu. Tidak apa-apa itu”,Dave mencoba menenangkan suasana hati Eirene. Tanpa
diberitahu Dave pasti tahu apa yang dirasakan Eirene. Eirene berpaling menatap
mata Dave dan tersenyum. Hanya itu balasan yang bisa Eirene berikan. Kemudian
Eirene berdiri disamping tempat tidur Dave dan berkata,”Aku nanti ada mata
kuliah jam 14.00 jadi aku pulang sekarang yaa..”. Eirene berbohong. Sebenarnya
Eirene bolos hari itu. “Tapi nanti kesini lagi kan?”,tanya Dave sambil
berharap. “Sepertinya tidak,aku mau ke rumah kakak nanti sore.” “Pasti gak
berani lagi kesini kan?”,tantang Dave. “Yaudah..aku pergi yaa. Nanti telat. Kan
jauh ke kampus”,elak Eirene. “Gak berani menjawabnya.” “Aku pergi yaa”,Eirene
tidak mau memberi jawaban. Dia lebih memilih mengelak dari pertanyaan itu.
Daripada dia harus menjawab dan akhirnya menyakiti hati Dave. Ibu Dave masuk
dan Eirene mohon undur diri. Diluar ayah Dave duduk sendirian. Hati dan pikiran
Eirene beradu. Akhirnya Eirene memutuskan
untuk bicara berdua dengan ayah Dave. Mencoba menjelaskan alasannya.
Berharap ayah Dave mau mencoba untuk melihat dari sudut pandangnya. “Marah Om
samaku?”,tanya Eirene dengan senyum kesedihan. “Yaa jelas marahlah”,jawab ayah
Dave. Dengan suara bergetar menahan tangis Eirene menjelaskan, “Jangan marah Om
samaku yaa. Sudah kuanggap Om sebagai ayah aku sendiri. Sudah tidak ada lagi
ayahku,Om. Bukan sama orang Om dan Tante perkataanku lewat sms itu.
Sebenarnya,Om,aku kesal. Aku mau marah sama orang ini semua. Pihak rumah sakit.
Pihak asuransi. Dan pihak Bank. Mereka yang aku maksudkan menomorduakan
kesehatan Dave. Mereka semua memperlambat,mempersulit,memperpanjang proses yang
tidak perlu. Mereka semua seperti menjadikan kejadian ini untuk bisnis. Mencoba
mengambil sebanyak mungkin dari pihak-pihak mana yang bisa mereka manfaatkan.
Aku mengerti posisi orang Om sekarang. Setiap kali Om ingin ambil tindakan
untuk Dave selalu dicegah mereka. Mereka tahu Om masih awam berurusan dengan
rumah sakit karena ini kali pertama Om berurusan sama rumah sakit. Aku paham
kalau Om dibuat bingung oleh ini semua. Itu juga yang buat aku kesal dan marah
sama mereka. Bukan Om dan Tante yang kumaksud. Bukan. Karena kita sama-sama
ingin yang terbaik untuk Dave. Iyakan,Om?”,jelas Eirene. Ayah Dave
mengungkapkan kesetujuannya dengan apa yang Eirene katakan. Ada sedikit
kelegaan diwajah Eirene. Tapi kegelisahannya belum hilang sepenuhnya. Akhirnya
Eirene undur diri dari rumah sakit. Eirene memutuskan untuk pergi kerumah
kakaknya. Dia tidak ingin kembali ke kostnya. Dia ingin suasana yang hiruk
pikuk agar perhatiannya teralihkan. Tapi setelah sampai dirumah kakaknya
kegelisahannya masih tetap bercokol didalam hatinya.
Terdengar
helaan nafas panjang. Eirene mencoba untuk mengembalikan konsentrasinya. Mulai
memperhatikan perjalanannya. Setelah sampai dirumah sakit jantungnya berdegub
tak biasa. Keringat dingin muncul dipelipisnya. Dia mulai mengatur nafas. “Ada
apa ini??”,dia bertanya pada diri sendiri.
Sesampainya
diruangan Dave, Eirene disambut dengan senyuman hangat kedua orangtua Dave.
Eirene masih belum mau terlalu berpikiran positif. Dia masih mawas diri. Dia
tidak mau langsung melambung tinggi hanya karena senyuman itu. Jantungnya masih
berdegub. Akhirnya ayah Dave angkat bicara, “Iya,Eirene. Mengertinya kami
kenapa kamu berkata seperti itu. Om tahu bagaimana rasa sayangmu terhadap Dave.
Om sudah mencoba mengikuti jalan pikiranmu dan Om akhirnya pun mengerti.”
Eirene tersenyum. Beban yang menindih pundaknya sejak 24 jam belakangan ini
terasa sudah lepas. Eirene menatap Dave penuh kasih. Dave balas menatap.
Orangtua Dave
pergi meninggalkan ruangan dan membiarkan mereka berdua. “Ngomong apa sih kamu
sama Papa?”,tanya Dave sambil menggenggam tangan Eirene. “Ada deh”,jawab Eirene
dengan senyum manisnya. “Kamu pasti tahu kalau setiap perbuatan,perkataan,dan
perlakuan yang aku lakukan selalu ada alasannya.
Dan alasan itulah yang kusampaikan kepada Om”,jelas Eirene bijak. Dave menarik
tangan Eirene kebibirnya dan mengecupnya mesra.